Mubadalah.id – Secangkir kopi panas mendarat di meja kafe yang ramai pengunjung. Ada yang membawa laptop dengan pandangan penuh tugas, membaca buku dengan mata tak berpaling, atau mereka yang sekedar kumpul bareng teman-teman sembari menikmati kopi khas Kafe Manteman ini.
“Meh pesan apa, Bel ?.” tanya Wafa pada lawan duduknya.
“Espresso saja fa, biasa ya ! low sugar.” Jawab Nabela yang masih sibuk dengan laptop dan deadline tugas.
Wafa dan Nabela sudah berteman sejak dipertemukan dalam satu organisasi eksternal kampus. Kebiasaan mereka pergi bersamaan sampai menikmati kopi berduapun sudah sering dilakukan. Kebiasaan itu juga disebabkan karena mereka memiliki waktu senggang yang beriringan, untuk mengisi waaktu luang mereka memilih keliling Jogja dan mencari kedai kopi untuk dinikmati racikan kopinya, salah satunya di Kafe Sak-Sak’e.
Setelah pesanan kopi datang, Wafa menghisap harum seduhan kopi lalu mensrutupnya sedikit demi sedikit, ia kembali bicara.
“Bel, tag ceritani. Tadi aku baru saja ikut kelas Komunikasi Gender, ya ada materi gender gitu. Mengangkat issue toxic relathionship.”.
“Emmm, terus yang dibahas apa?”. Jawab Nabela sesekali menatap Wafa.
“Senyantelnya materi ke otakku ya, masih banyak kisah pacaran yang tidak sehat dan merugikan sebelah pihak, hampir sama seperti yang terjadi saat ini sih.”
Berhubung tugasnya sudah selesai tujuh puluh lima persen, Nabela menutup laptopnya dan mengambil cangkir berisi kopi espresso dengan ramuan sedikit gula yang menjadi kesukaannya. Bagi Nabela, kopi memiliki kecanduan khas yang harus dirasakan dalam setiap seduhannya, sama seperti perjalanan yang harus dinikmati dengan segala resikonya.
“Itulah mengapa kadang aku jadi takut pacaran fa, haha.”
Sontak Wafa kaget karena sejujurnya selama ini Wafa menyimpan perasaan suka pada Nabela, hanya saja Nabela tidak menyadari itu dan memilih tidak punya pacar sampai sekarang. Nabela menganggap Wafa sudah seperti saudaranya sendiri. Wafa kembali melanjutkan diskusi yang menurutnya menarik.
“Apakah sampean takut pacaran karena toxic juga bel?”.
“Salah satunya itu. Aku takut aja pacaran nanti jadi mengatur dan merubah pola hidup, melarang aktifitas, mempermasalahkan kecantikan atau bisa jadi melakukan kekerasan, haha ngeri aja.” Jawab Nabela sembari tersenyum menatap Wafa pertanda meyakinkan.
“Itu juga kategori dari toxic relationship ya ?.”
“Ho oh faa, makanya besok kalau sampean punya pacar jadilah cowok yang memberikan arahan bukan mengatur, tidak hanya menuruti kebahagiaan sampean ning ya pacar e juga, intinya saling membahagiakan deh.”
“Deg! apakah itu pertanda kalau aku jadi pacar dia aku harus memahami inginnya dia juga.” (batin Wafa yang tiba tiba diam, menelan ludah mendengar Nabela mengatakan kalimat tadi).
Mendiamkan perasaan bagi Wafa selama satu tahun sungguh meresahkan. Namun ada yang lebih meresahkan lagi ketika Wafa mengutarakan perasaannya namun justru ditolak oleh Nabela, haha bagaikan kisah drama di sinetron saja.
“Woi, malah bengong! gimana? udah nyantel?.”
“Bentar bel, kalau kasusnya seperti ini, si A tahu itu toxic tapi rasa cintanya terlalu menutup kesadaran bagaimana, kan nggak mau tuh putus.” Tatap Wafa seirus menantikan jawaban Nabela.
“Ya kaya nggak ada yang lain, yang penting jangan sampai hubungan itu merugikan salah satu pihak baik cowok maupun cewek, kalau sudah tahu toxic dan tidak mau dikasih tahu, berarti dia punya pilihan dan siap resiko apapun.”
“Emm, ribet ya, haha.” Jawab Wafa cengengesan.
“Masih banyak yang perlu kita selesaikan selain memikirkan sebuah hubungan, hehe. Paling tidak harapan keliling dunia harus kesampaian fa..” tersenyumlah Nabela, memberi gambaran jika sekarang dia memang belum membutuhkan pacar dan masih memikirkan impian dia mengunjungi beberapa tempat.
Wafa memahami jawaban Nabela dan kembali menikmati kopi yang tinggal satu srutupan. Sejenak melihat ke luar kafe dan melirik jam dinding yang berhenti di angka lima sore.
“Hmm wis sore, pulang yuk nanti keburu hujan.”
“Yuk…”.
***
Toxic relathionship merupakan hubungan yang merugikan salah satu pihak. Dapat dikatakan hubungan yang membawa relasi tidak sehat, menguntungkan salah satu pihak. Hal ini sering terjadi di beberapa hubungan yang mana perempuan selalu tersakiti oleh laki-laki ataupun sebaliknya. Meski pada kenyataannya hal tersebut tidak disadari, dan beberapa dari mereka menerima itu padahal jelas merugikan.
Merespon toxic relanthionsip Nabela memilih untuk tidak terlalu memikirkan jauh mengenai hubungan antara dia dan laki-laki yang ada dalam hatinya. Dia memilih diam dan membiarkan semua berjalan sebagaimana takdir memberikan saksi. Bagi dia, apa yang sedang dialami itulah yang harus dinikmati.
Suatu ketika, teman Nabela memulai perbincangan tatkala Nabela selesai kelas sore
“Hey Bel tungguin dong” teriak Anjani dari kejauhan.
“Eh haeee, kenapa nih?”. Jawab Nabela melangkahkkan kaki dengan pelan, menunggu Anjani datang.
“Kantin njooo, bentar doang.” Ajak Anjani kepada Nabela.
“Hayok lah, laper juga ki.”
Setelah memesan makanan dan minuman Anjani memulai percakapan.
“Bel, menurutmu bagaimana kalau seseorang berhubungan dengan laki-laki tapi perempuannya kerap kali menangis, apakah pantas dipertahankan.”
“Menangisnya karena apa dulu?.”
“Ya karena sering tersakiti gitu sih.”
“Kalau yang nangis karena dirugikan sebelah pihak gitu mending wis to sudahi saja. Ketika dikasih tahu ndak gelem yowis, itu hak mereka yang melaksanakan hubungan.”
“Hes jan.. ribet yo bel. Kalau kamu sama Wafa apa kabar?.” ledek Anjani memasang muka senyum di depan Nabela.
“Apaan sih hmmmm.” Jawab Nabelaa dengan muka memerah.
***
Nabela pulang menuju kost-nya dengan perasaan penuh resah. Ia sejujurnya memendam perasaan dengan Wafa sudah sejak lama, ditambah perjalanan mereka selama di di kampus sudah berlangung selama tiga tahun. Rasa yang sama juga dimiliki Wafa kepada Nabela. Hanya ketakutan yang masih menjadi pemicu mereka untuk tetap mendiamkan perasaan tanpa saling terbuka masalah perasaan mereka masing-masing.
“Bisa jadi sampean nyesel lo Waf kalau terus diam kaya gitu.”
ucap Naja teman Wafa.
“Yoi bro.” timpal Wafa spontan.
Hari itu Wafa menceritakan permasalahan hatinya kepada Naja. Meski tidak menyebutkan nama Nabela namun Naja memberikan saran jika Wafa berhak menyampaikan perasaan di hati meski tidak tahu akan berakibat baik ataupun buruk. Wafa setuju dengan saran Naja dan mencoba berpikir bagaimana nantinya ia akan mengutarakan isi hati kepada Nabela.
Pertama yang perlu dipersiapkan adalah mental. Memulai hubungan bukan suatu hal yang sulit tapi juga tidak bisa dianggap enteng, karena itu menyangkut hubungan dua hati manusia yang mencoba untuk dipersatukan. Keduanya harus bisa mengimbangi dan memiliki rasa kesalingan, apalagi juga harus bisa menghindari yang namanya toxic relathionship.
Esok harinya sebelum keluar menuju kampus Wafa menulis pesan melalui Whatsapp kepada Nabela.
“Bel, ngopi yok, biasa ya pulang kuliah sekalian.”
Nabela membaca dengan rasa deg-degan yang berbeda dari biasanya, ada sesuatu yang membuatnya sedikit merasa aneh. Namun Nabela memilih untuk tetap membalas sebagaimana hari-hari lainnya.
“Yaa Waf, nanti aku kesana.”
“OK.”
Wafa menutup pesan dengan wajah senang sekaligus gugup jika harus menyampaikan perasaannya kepada Nabela sore itu juga. Setelah bersiap ke kampus, Wafa mengendarai motornya menuju kampus di salah satu kota besar yaitu Jogjakarta.
Pukul tiga sore merupakan jam terakhir kuliahnya Wafa dan Nabela. Selesai perkuliahan keduanya menuju kafe tempat biasa mereka menghabiskan waktunya untuk berdikusi mengenai banyak hal, mulai dari permasalahan kampus, organisasi, kadang juga menyinggung permasalahan negara dan HAM.
Ternyata yang sampai duluan adalah Wafa. Nabela sengaja berbelok ke pom bensin dulu karena bahan bakar untuk motornya sudah di strip satu yang artinya segera habis. Wafa memilih tempat yang tidak ramai ditempati oleh pengunjung dengan pemandangan menghadap ke luar. Setelah dari pom bensin Nabela melanjutkan perjalanan menuju ke kafe.
“Faaaa.” sapa Nabela yang sudah melihat sosok Wafa dari kejauhan.
“Heii.” jawab Wafa sedikit gugup
“Wes pesen belum, haus ni.”
“Belum, yok lah pesen dulu.?”
“Es cappuccino aja yooo.”
“OK.”
Wafa memberikan daftar pesanan ke kasir dan kembali ke tempat duduknya dengan hati yang siap untuk memulai pembicaraan. Namun tidak disangka jika Nabela justru mengawali percakapan.
“Tumben banget Fa, baru kemarin lusa ngajak ngopi udah ngajak ketemu aja, curhat apa nih?.”
“Mau ngomongin soal perasaan aku sama sampean bel, tapi plis jangan aneh yaa hehe. Aku jujur punya perasaan nyaman dan bisa dikatakan sayang ke sampean bel. Sejak awal kita dipertemukan satu organisasi dan keasikan diskusi yang selalu kita jalani, aku merasa nyaman aja. Aku tidak mempermasalahkan perasaan sampean mau seperti apa kepadaku, ini ikhitiarku mengutarakan dan jika diberi kesempatan aku ingin tahu perasaan sampean juga.”
“Aku harus menjawab juga?.”
“Senyaman sampean aja Bel.”
“Mungkin kita sama, perasaan dan kenyamanan. Tapi ada satu yang tidak ingin aku iyakan, ketika hubungan kita harus ada ikatan pacaran.”
“Kenapa?.”
“Wah, nanti jadi aku kaya menggurui hihi.”
“Tidak setiap laki-laki selalu memiliki pengetahuan banyak dan tidak setiap perempuan juga memiliki rendahnya pemikiran bel, aku ingin mendengar pandangan sampean juga to.”
“Oke, kenapa aku tidak menginginkan kita pacaran. Karena itu hanya sebuah status yang nantikan bisa jadi putus atau bisa jadi nikah. Diujinya sebuah perasaan itu ketika tidak memiliki status pacaran, sejauh mana keduanya bisa saling mempertahankan. Itupun kalau diantara kita setuju.”
“Tidak ada kerugian atas hal tersebut bel, aku paham. Kita nikmati takdir yang ada di depan dan tidak perlu menakutkan sesuatu yang masih menjadi bayangan. Jalani hubungan ini dengan konsep kesalingan.”
“Contohnya?.”
“Sampean lakukan apa yang menjadi kegiatan dan impian sampean dengan sebebasnya, begitupun aku. Paling bisa dilakukan kita saling mendukung, memberi kabar, melakukan sesuatu bersamaan juga bisa. Ketika ada masalah, kita bisa menyelesaikannya dengan diskusi baik-baik.”
“Oke siap Faa.”
“Aku menyayangimu Nabela Dzikrina.”
“Begitupun aku.”
Keduanya saling memberikan senyuman dan meminum pesanan masing-masing. Cuaca Jogjakarta dengan lembayung sore ikut berbahagia menyaksikan dua hati yang bertemu dengan baik dan tanpa masalah. Meski kepastian dalam sebuah hubungan baik menikah ataupun belum, itu sebuah kemungkinan, paling tidak nikmatilah takdir Tuhan yang ada di depan mata, semestinya. []