Mubadalah.id – Pada awal abad 20, kaum perempuan mulai mendapat kesempatan memasuki dunia pendidikan baik sebagai murid, guru, pemimpin atau pendiri sekolah perempuan. Akan tetapi, apa yang membuat putri pertama KH. Hasyim Asy’ari, Nyai Khoiriyah istimewa saat itu sebagai pemimpin pesantren ialah karena ia memimpin pesantren laki-laki.
Bahkan ia juga memimpin sejumlah staf laki-laki melalui pesantren yang didirikannya bersama suaminya KH. Maksum Ali, Pesantren Seblak di Jombang Jawa Timur.
Kiprah keulamaan Nyai Khoiriyah terbilang istimewa, selain menginisiasi dan memimpin pesantren putri yang pertama. Ia juga mendirikan sekolah perempuan pertama di Mekah, Madrasah lil Banat. Madrasah tersebut sebagai tempat ia tinggal selama 19 tahun mengikuti suami keduanya setelah suami pertama wafat.
Sekembalinya dari Mekah, ia kembali memimpin pesantren Seblak dan aktif di berbagai kegiatan sosial keagamaan.
Keulamaan Nyai Khoiriyah juga kita akui di antaranya dengan tercacatnya beliau sebagai ulama perempuan pertama dan satu-satunya yang masuk jajaran Bahsul Masail di PBNU. Serta menjadi anggota Badan Syuriah PBNU yang beranggotakan para kyai senior pada 1960an. Hingga menjadi Ketua Muslimat NU yang pertama.
Dalam dunia kepesantrenan, pada umumnya, saat Kyai wafat, Nyai mengambil alih peran memimpin pesantren meski umumnya terbatas pada santri putri.
Jika yang menggantikan putranya, maka Nyai mendapat tempat istimewa sebagai orang yang dimintai nasihat mengenai urusan-urusan kepesantrenan.
Di luar itu, terdapat kasus yang terbilang jarang terjadi yaitu Nyai menjadi pemimpin bagi santri putri dan putra sekaligus. Hal ini dicontohkan dalam kasus Pesantren Seblak yang didirikan pada tahun 1921 yang kerap dijadikan rujukan penting mengenai peran kepemimpinan perempuan di pesantren.
Karena keunikannya itu, pesantren Seblak pun menjadi prototipe bagi model kepemimpinan perempuan di pesantren.
Nyai Masriyah Amva
Dalam konteks Babakan hari ini, dalam kapasitas keulamaan yang berbeda, kita dapat melihat keberhasilan Nyai Masriyah Amva yang memimpin Pesantren Kebon Jambu sepeninggal suaminya, KH. Muhammad, dengan capaian yang terbilang istimewa.
Nyai Marsiyah tidak hanya berhasil memimpin pesantren Jambu, baik santri laki-laki maupun perempuan, membawahi para staf/ustadz laki-laki dan perempuan. Tetapi juga aktif berkiprah di ruang publik sebagai penulis/penyair yang cukup produktif beserta berbagai aktivitas lainnya. Di sini, kemampuan manajerial Nyai dalam mengelola pesantren tampak menonjol.
Peran Nyai semakin penting seiring perkembangan zaman saat para Nyai semakin mendapatkan ruang untuk mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi.
Di sekolah-sekolah formal yang berafiliasi dengan pesantren seperti saat ini di mana pesantren memiliki sekolah tinggi atau kampus, maka para Nyai pun melakukan tranformasi keilmuan itu tidak hanya kepada santri perempuan tetapi juga laki-laki.
Peran Nyai ini meluas sejak tahun 80an, saat majelis taklim merebak, dan anggotanya kebanyakan perempuan. Nyai memiliki peran penting memediasi interaksi pesantren dengan masyarakat. Ia menjadi agen bagi penafsiran modernisasi bagi perempuan di pedesaan. []