Mubadalah.id – Di balik narasi keagamaan dan adat istiadat yang sering dijadikan alasan pembenaran, praktik pemotongan atau perlukaan genitalia perempuan (P2GP) menjadi salah satu bentuk kekerasan terhadap tubuh perempuan yang selalu diwariskan dari generasi ke generasi.
Praktik ini, sebagaimana dijelaskan dalam Kupipedia.id oleh Maria Ulfah Anshor, tidak memiliki dasar medis maupun manfaat kesehatan sedikit pun. Melainkan hanya meninggalkan jejak trauma dan kerusakan fisik yang sulit untuk pulih.
Menurut definisi WHO, P2GP mengacu pada prosedur pemotongan alat kelamin perempuan. Baik sebagian maupun keseluruhan, atau bentuk lain yang melukai organ genital tanpa alasan medis.
Praktik ini sering kali mereka lakukan terhadap anak-anak perempuan di usia dini. Bahkan sebelum mereka memahami apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh mereka.
Data nasional menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Riskesdas (2013) mencatat, 51 persen anak perempuan di bawah usia sebelas tahun di Indonesia mengalami pelanggaran hak untuk hidup bebas dari kekerasan melalui praktik ini.
Angka itu menunjukkan bahwa setengah dari anak perempuan Indonesia pernah atau berisiko menjadi korban P2GP. Hal ini sebuah kenyataan yang mengancam generasi perempuan di masa depan.
Menjadi Bahaya yang Nyata
Lebih lanjut, dalam penjelasan Maria Ulfah Anshor, P2GP terbukti tidak memberikan manfaat apa pun bagi kesehatan perempuan. Sebaliknya, praktik ini menimbulkan risiko medis yang serius.
Dari jangka pendek hingga jangka panjang, P2GP dapat menyebabkan infeksi, perdarahan hebat, nyeri berkepanjangan, trauma psikologis, komplikasi saat melahirkan, hingga ketidaksuburan. Bahkan, dalam beberapa kasus ekstrem, pemotongan pada klitoris atau labia menyebabkan pendarahan mematikan.
Fadli (2017) menegaskan bahwa pemotongan jaringan klitoris atau labia berisiko tinggi karena di bagian tersebut terdapat arteri dan vena besar.
Pemotongan tanpa prosedur medis menyebabkan perdarahan berat (haemorrhage) dan infeksi berbahaya. Semua itu terjadi hanya karena alasan yang sepenuhnya tidak ilmiah. Bahkan bertentangan dengan prinsip dasar kesehatan dan kemanusiaan.
P2GP, sebagaimana ditekankan WHO (2008), bukanlah ajaran agama. Ia merupakan tradisi purba yang telah ada jauh sebelum hadirnya tiga agama samawi: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Praktik ini telah berlangsung sejak masa Firaun di Mesir dan wilayah Timur Tengah sekitar 4.000 tahun sebelum Masehi, jauh sebelum Islam lahir.
Serour (2017) mencatat bahwa sunat perempuan tidak dipraktikkan oleh mayoritas umat Islam di dunia, menegaskan bahwa klaim keagamaan terhadap praktik ini adalah bentuk salah tafsir yang menyesatkan. []








































