Mubadalah.id – Dalam buku ini al-Ghazali, mengatakan bahwa mereka yang gemar menyesatkan dan mengkafirkan orang lain atau golongan lain adalah orang-orang yang terbelenggu dalam sistem berpikir “taqlid” (mengekor) kepada kelompoknya atau pandangan mazhabnya secara buta.
Mereka gemar sekali mengklaim kebenaran pandangannya sendiri atau pandangan guru dan mazhabnya sebagai paling benar dan paling islami. Sementara pandangan atau kelompok lain dianggap salah, sesat atau kafir.
Hal ini adalah cara pandang fanatik buta. Sikap ini kerap membuat seseorang menutup mata dari pandangan, pendapat atau pikiran orang lain. Hingga yang bersangkutan tak lagi mau mempelajari atau mempertimbangkan pandangan pihak lain berikut seluruh argumentasinya.
Dalam kondisi tertentu seseorang yang terjangkiti fanatisme akan memperbolehkan diri dan kelompoknya untuk mengeluarkan pandangan dalam persoalan tersebut.
Imam Al-Ghazali kemudian menghimbau mereka agar melepaskan diri dari belenggu yang menjerat itu. Dia mengatakan:
“Orang yang berpandangan bahwa kafir adalah orang yang menolak atau bahkan menentang doktrin mazhab Asyari, Mu’tazilah, Hanbali atau mazhab yang lain, hal itu merupakan suatu kebodohan yang nyata dan kebutaan pikiran yang akut.”
Di halaman lain al-Ghazali mengkritik sejumlah teolog (mutakallimin) yang mengkafirkan masyarakat umum (‘awim) hanya karena mereka tidak memahami ilmu kalam (teologi) atau hanya karena mereka tidak mengetahui dalil-dalil agama secara detail (tafshiliy) sebagaimana pengetahuan para teolog (ahli ilmu kalam).
Menurut al-Ghazali, mereka adalah orang-orang yang telah membatasi rahmat Tuhan yang sungguh-sungguh maha luas dan dianugerahkan untuk semua makhluk-Nya. Keimanan seseorang tidak harus tergantung pada pengetahuan ilmu kalam.
Bahkan, menurutnya banyak cara dan jalan yang bisa dan sah dilakukan orang untuk bisa meyakini adanya Tuhan. Surga tidak bisa diklaim hanya sebagai milik kaum teolog.
Semua orang, menurut al-Ghazali, berhak mendapatkannya. Seorang penggembala unta yang bodoh dan muallaf (baru masuk Islam). Sekalipun, dia tahu bahwa Tuhan ada, dan karena itu dia berhak mendapat kasih Tuhan. []