Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang harus dipegang Teguh.
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat al-Maidah ayat 1, “Hai orang-orang beriman penuhilah janji-janjimu…”
Bahkan dalam Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Uqbah bin Amir ra.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perjanjian yang paling wajib adalah perjanjian yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kalian (perjanjian perkawinan).”
Nyai Badriyah menyebutkan bahwa semua hal yang membawa kebaikan dalam keluarga khususnya yang berorientasi pada kemaslahatan istri yang tercatat dalam sebuah perjanjian.
Mengapa istri? karena biasanya para istri lah yang lebih rentan terhadap pelanggaran hak dalam keluarga.
Dalam kitab-kitab fiqh, Nyai Badriyah mencontohkan kalau isi perjanjian perkawinan hampir seluruhnya mengarah pada kemaslahatan istri.
Misalnya, suami harus memenuhi nafkah standar, tidak mengusir istri dari rumah tinggal mereka apapun alasannya.
Termasuk tidak melarang istri melakukan aktivitas positif, tidak melarang istri berhubungan dengan keluarga dan teman-temannya, dan sebagainya.
Contoh di atas kata Nyai Badriyah, sudah tidak aneh, karena filosofi perjanjian pernikahan itu sendiri pada hakekatnya adalah untuk memberi manfaat dan perlindungan kepada istri.
Filosofi itu pula membuat sebagian fuqaha berpandangan bahwa tidak bersedia di madu bisa dan boleh menjadi isi perjanjian perkawinan yang wajib suami penuhi, karena manfaat hal ini kembali ke istri.
Di antara sahabat Nabi dan fuqaha yang berpendapat demikian adalah Khalifah Umar bin khatab Sayyidina bin Abi Waqqash, Amru bin ‘Ash, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Thawus, al Awza’i, Ishaq dan sebagian ulama mazhab Hambali.
Pendapat ini, kata Nyai Badriyah, semakin hari semakin banyak mengikuti karena kemaslahatannya semakin terasa. (Rul)