Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan ulama progresif, ayat poligami juga tidak bisa dibaca sepenggal begitu saja. Ayat itu harus dibaca lengkap dengan kalimat sebelum dan setelahnya. Juga dengan ayat lain yang terkait sekalipun di surat yang lain.
Lebih dari itu, ayat itu harus dibaca sesuai dengan alur bahasa penyusunan dan konteks sosial di mana dan kapan ayat tersebut turun.
Pada saat yang sama prinsip-prinsip al-Qur’an dalam membicarakan relasi laki-laki dan perempuan juga harus menjadi dasar acuan pemaknaan.
Jika kaedah-kaedah ini digunakan, bisa dipastikan bahwa ayat 3 surat an-Nisa tidak bisa dipahami sebagai promosi terhadap poligami.
Sebaliknya, ayat itu justru memfokuskan pada tuntunan moralitas keadilan yang harus setiap orang miliki ketika menjalani kehidupan perkawinan, terutama pada perkawinan poligami.
Ayat dari surat an-Nisa ini yang sebagian orang-orang anggap ayat poligami. Selengkapnya adalah sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya). Maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. an-Nisa ayat 3)
Cukup Satu
Seperti yang terlihat secara nyata dalam literal terjemahan, fokus ayat tersebut adalah anjuran pada dua hal, pertama berbuat adil kepada anak yatim. Kedua ketika berpoligami juga harus berdasarkan pada moralitas keadilan. Jika khawatir tidak mampu adil, seharusnya mencukupkan diri dengan satu istri saja, agar tidak terjadi kezaliman dan kenistaan.
Banyak orang yang tidak begitu paham kaitan pemeliharaan anak yatim dengan kebolehan poligami, seperti dalam ayat tersebut.
Hal ini pernah Urwah bin Zubair ungkapkan di hadapan Aisyah bint Abu Bakr ra, istri Rasulullah Saw. Urwah bin Zubair, anak Asma kakak Aisyah ra, bertanya mengenai kaitan pemeliharaan anak yatim dengan kebolehan poligami dengan dua istri, tiga, atau empat. Aisyah ra menjawab:
“Wahai kemenakanku!, Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secura adil. Sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain.”
“Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain.” []