Mubadalah.id – Dalam tulisannya sebelumnya sudah dijelaskan paradigma keimanan, keilmuan, dan gerakan dakwah KUPI, lalu sudahkah cara pandang kita rahmatan lil ‘alamin âlamîn, dan akhlaq karimah dengan sembilan nilai dasar tersebut? Cara menafsir kita sudahkah menggunakan pendekatan makruf, mubadalah dan keadilan hakiki bagi perempuan? Hasil menafsir dan narasi kita koherenkah dengan paradigma tersebut? Sikap, pernyataan, perilaku dan perbuatan kita selaras tidak dengan perspektif tersebut?
Sebagai sistem pengetahuan ia mengikat dan mengintegrasikan seluruh sumber-sumber tekstual dalam Islam, terutama al-Qur’an dan Hadits, sebagai satu kesatuan yang holistik, di mana teks-teksnya, satu sama lain saling menopang (yufassiru ba’dluhu ba’dlan), dalam kerangka gagasan ini.
Termasuk sumber-sumber pengetahuan di luar kedua teks tersebut, seperti ilmu-ilmu sosial, eksak, filsafat, atau fakta-fakta realitas kehidupan juga diintegrasikan dengan kerangka yang sama. Hal ini semua adalah sumber-sumber yang harus dilihat sebagai sistem yang utuh, holistik, dan koheren dalam kerangka paradigma rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah.
Sebagai tujuan, gagasan ini turun dalam ruang dan waktu, berproses dengan konteks sosial dan budaya, untuk mentransformasikan semua norma kehidupan menjadi benar-benar rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah bagi seluruh manusia dan semesta. Yang kita pahami dan kita lakukan, merupakan proses ke arah tujuan rahmatan lil ‘aâlamiîn dan akhlaâq kariîmah. Karena proses dan tujuan ini, kita siap untuk berbagi, bekerja sama, bersedia untuuk dikritik dan menerima masukan, mengubah, dan menyesuaikan.
Bagi KUPI, keimanan dan ketakwaan diukur dengan kesadaran transendental ketuhanan di satu sisi, dan kebermanfaatan sosial semaksimal mungkin di sisi yang lain. Baik untuk individu, pasangan hidup, anggota keluarga, komunitas warga terkecil, bangsa, penduduk dunia, dan semesta. Kekhasan KUPI adalah memastikan perempuan diposisikan sebagai subjek utuh, pelaku dan penerima dari manfaat gagasan ini, setara dengan laki-laki.
Pandangan-pandangan keagamaan yang dikeluarkan KUPI, yang biasa disebut sebagai fatwa, tentang masalah-masalah kehidupan, merupakan bagian dari proses mewujudkan gagasan kerahmatan (rahmatan lil ‘alaminâlamîn) dan kemaslahatan (akhlaâq kariîmah) dalam kehidupan. Pandangan keagamaan ini dikeluarkan melalui proses yang semuanya juga mengacu pada perspektif dan sistem pengetahuan dari gagasan agung ini.
Hasil fatwanya diharapkan memenuhi, atau bisa mendekati gagasan tersebut. Mandat utama KUPI adalah memastikan pandangan keagamaan yang dianggap sebagai kerahmatan Allah Swt bagi semesta (rahmatan lil ‘alaminâlamîn), yaitu ketika proses dan hasilnya benar-benar menjadi rahmat dan anugerah, tidak hanya bagi laki-laki, melainkan juga perempuan sebagai bagian dari semesta-Nya, dan tidak hanya bagi manusia, melainkan juga seluruh semesta.
Sebagai salah satu anugerah-Nya, dengan cara pandang kerahmatan khas KUPI ini, realitas perempuan tidak dinafikan dan kapasitas perempuan tidak dipinggirkan. Melainkan, keterlibatan mereka dalam proses kelahiran pandangan keagamaan, justru dianggap sebagai keterpanggilan sejarah dan keniscayaan peradaban Islam.
Sebagai manusia utuh, hamba dan khalifah di muka bumi, perempuan telah dianugerahi akal budi dan jiwa raga oleh Allah SWT Swt yang membuatnya kompeten dan kapabel dalam mengemban peran tersebut. Anugerah ini tidak boleh dikurangi oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Hasil dari ijtihad pandangan keagamaan, baik berupa fatwa atau yang lain, seharusnya pun secara nyata menjadi anugerah, terutama bagi perempuan dan semesta.
Begitu pun pandangan keagamaan dianggap sebagai kemaslahatan, yaitu ketika proses dan hasilnya menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai sama-sama subjek, yang dilibatkan, disapa, dan dipastikan benar-benar memperoleh manfaat darinya. Perempuan dengan dua kondisi khusus, yang biologis dan sosial, diperhatikan dan difasilitasi agar tidak lagi mengalami keburukan dampak dari kondisi khas tersebut.
Seharusnya, pandangan keagamaan yang dikeluarkan tidak malah melestarikan keburukan, ketimpangan, kekerasan, dan ketidak-adilan bagi perempuan. Sebaliknya, seluruh institusi keagamaan memfasilitasi perempuan, dengan seluruh potensi akal budinya, bersama laki-laki, agar memiliki kenyamanan untuk ikut berkontribusi sebagai khalifah yang memakmurkan bumi, dan merasakan kemakmurannya dalam kehidupan nyata.
Saat ini, pandangan keagamaan dengan perspektif demikian adalah penting untuk dikembangkan dan disebarkan, mengingat terlalu banyaknya narasi intoleransi, kebencian, bahkan kekerasan, perusakan, dan pembunuhan. Narasi-narasi ini sering kali dibungkus dalam bahasa dan argumentasi keagamaan.
Lebih-lebih lagi, basis-basis warisan tradisi keislaman sering kali dirujuk sedemikian rupa justru untuk melanggengkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Di sisi yang lain, kesadaran keadilan relasi gender semakin menguat di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia. Juga, semakin banyak lahir para perempuan Muslimah yang berkapasitas dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu teks-teks agama.
Dua hal ini meniscayakan dan menuntut lahirnya fatwa, pandangan keagamaan, dan narasi-narasi keagamaan populer yang lebih adil dan ramah terhadap perempuan, sebagai alternatif narasi yang sebaliknya. Narasi-narasi ini akan membekali generasi sekarang dalam memahami Islam yang kaâffah, rahmah, dan adil, terutama dalam relasi laki-laki dan perempuan. []