Mubadalah.id – Patah hati bagi sebagian orang mungkin menjadi hal yang sangat ditakuti. Dan bagi sebagian yang lain mungkin telah menjadi kewajaran sehingga tidak perlu dicemasi. Patah hati tidak bisa terlepas dari kehidupan percintaan, khususnya para remaja yang mulai menginjak usia dewasa.
Bagi sebagian orang mungkin begitu mudah untuk menaruh cinta. Karena pada dasarnya cinta adalah anugerah yang kita tidak bisa menolaknya. Namun kita juga tidak memaksa orang lain untuk menaruh rasa yang sama karena itu di luar kendali kita.
Patah hati sendiri biasanya terjadi karena urusan cinta yang tertolak maupun putusnya sebuah hubungan. Dan semua itu terjadi di luar keinginan.
Mungkin poin kedua yang saya sebutkan tadi memiliki dampak yang cukup signifikan daripada poin pertama. Patah hati bisa mengguncang sisi emosional, psikologi, dan kesehatan. Rasa kekecewaan yang mendalam, kesedihan, kekhawatiran, maupun kebencian dalam tahap akut dapat menggiring seseorang melakukan suatu hal yang tidak ia inginkan, bahkan ada keinginan bunuh diri.
Apakah Salingers pernah mengalami patah hati? Lantas bagaimana cara menyikapinya?
Ngaji Filsafat oleh Dr.Fahrudin Faiz edisi 385 kemarin membincang tentang patah hati perspektif stoikisme. Dari sini ia memaparkan bagaimana tokoh-tokoh stoic (sebutan bagi penganut stoikisme) memiliki ketangguhan hati dan jiwa dalam menghadapi permasalahan hidup, termasuk patah hati.
Apa itu Stoikisme?
Secara historis, stoikisme adalah aliran filsafat Yunani Kuno yang dikenal sejak awal abad ke-3 SM. Aliran ini didirikan oleh seorang filsuf Yunani, Zeno dari Kota Citium.
Menurut kamus Stanford Encyclopedia of Philosphy, “Stoic” berasal dari kata teras. Hal ini karena pada mulanya stoikisme diajarkan kepada para pengikutnya di tangga Agora di Athena. Orang Yunani dahulu sering memberikan nama pada sekolah filsafat berdasarkan dari tempat di mana ajaran tersebut disampaikan.
Dari sini kemudian muncul buku best seller “Filosofi Teras” karya anak bangsa, Henry Manampiring yang mungkin kamu sudah membacanya.
Pada umumnya stoikisme merupakan aliran filsafat yang mengajarkan supaya manusia mampu mengontrol emosinya dan bersyukur atas segala ketetapan yang telah terjadi.
Melalui stoikisme kita diajarkan untuk menerima kenyataan hidup dengan lebih rasional. Dengan demikian, sebagaimana tujuan utama dari aliran ini, yakni penguasaan diri, jiwa kita akan lebih tenang, memiliki ketahanan mental, dan emosi yang seimbang.
Dalam aliran ini juga mengajarkan tentang dikotomi kendali, yakni mana bagian hidup yang dapat kita kendalikan dan mana yang tidak dapat kita kendalikan. Orang-orang stoic diajarkan untuk fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan. Hal itu karena semakin kita berusaha mengendalikan apa yang berada di luar kendali, hanya rasa frustasi, kecewa, bahkan patah hati yang akan kita terima.
Stoikisme = Toxic Positivity?
Jika stoic berbicara tentang kemampuan merespons keadaan dengan rasional apakah tidak berbeda dengan toxic positivity? Mungkin itu pertanyaan yang ingin kamu tanyakan.
Yang perlu kita pahami bahwa toxic positivity merupakan sikap yang selalu menuntut diri sendiri ataupun orang lain untuk mempunyai pikiran dan emosi positif meski sedang berada dalam situasi yang buruk.
Berpikir positif yang berlebihan dengan mengesampingkan emosi negatif dapat mengakibatkan seseorang sukar untuk meluapkan emosi yang sebenarnya terjadi. Emosi yang sudah menumpuk dan tidak bisa kita luapkan ini lebih jauh dapat mengakibatkan gangguan mental seperti post traumatic disorder (PSTD), anxiety, dan sebagainya.
Tentu ini berbeda dengan stoikisme. Orang-orang stoic akan menerima kenyataan yang sebenarnya dengan penuh kesadaran. Bukan berpura-pura tidak merasa. Misalnya ketika patah hati kita tentu merasa jengkel, sakit, dan kecewa. Kita harus mengakui bahwa hal tersebut benar adanya, namun selanjutnya kita harus dapat mengendalikan rasa tersebut.
Ada beberapa tahapan bagi orang stoic dalam menerima kenyataan. Pertama, paham dan sadar; kedua, menerima rasa dan pengalaman; ketiga, mengendalikan diri; keempat, memberi yang terbaik, dan kelima adalah belajar untuk lebih baik.
Menyikapi Patah Hati dengan Stoikisme
Bagi kamu yang pernah mengalami patah hati, sedih boleh, namun jangan sampai berlarut-larut. Berikut ada 7 tips menyikapi patah hati ala stoikisme, yuk simak!
Menyadari Kenyataan Hidup
Sadar atau tidak, segala sesuatu terjadi dengan pola tersendiri. Misalnya setiap pertemuan tentu akan ada perpisahan, setiap suka tentu ada duka, setiap kesulitan tentu bersama dengan kemudahan, dan masih banyak lagi.
Seperti kata Marcus Aurelius bahwa hidup akan terus berubah dan perubahan akan terus-menerus mengubah dunia, seperti perkembangan waktu yang tak henti-hentinya mengubah keabadian. Dari perubahan tersebut bakal ada yang hilang, dan ada pula yang hadir. Kita harus menyadari dan menerimanya. Misalnya kita memiliki seorang kekasih. Kita harus sadar bahwa pada saatnya kita akan berpisah, dan itu adalah sunatullah yang tidak bisa dihindari.
Cintamu Bukan Milikmu
Sebagaimana kehidupan, segalanya hanyalah titipan. Cinta memang sebuah anugerah yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Namun cinta juga termasuk titipan. Suatu saat dapat diambil oleh pemiliknya jika waktunya sudah habis. Dan kita harus menyadari dan menerimanya.
Ada yang di Luar Kuasamu
Epictetus pernah berkata, “Kebahagiaan dan kebebasan dimulai dengan pemahaman yang jelas tentang satu prinsip. Beberapa hal berada dalam kendali kita dan beberapa tidak. Hanya setelah kita pahami aturan mendasar ini dan belajar membedakan antara apa yang kita bisa dan tidak bisa kita kendalikan, ketenangan batin dan keefektifan menjadi mungkin”.
Salah satu prinsip dalam stoikisme adalah adanya pemahaman terhadap dikotomi kendali. Ada beberapa hal yang berada dalam kendali dan beberapa hal di luar kendali. Kebahagiaan yang selalu kita dambakan dapat diperoleh dari penguasaan terhadap apa yang dapat kita kendalikan. Sedangkan rasa cinta orang lain terhadap diri kita itu berada di luar kendali yang tidak mungkin kita paksakan. Oleh karena itu fokuslah pada apa yang dapat kamu kendalikan.
Epictetus juga mengajarkan bahwa jangan mengharapkan segalanya terjadi sesuai yang kita inginkan. Namun terimalah segalanya yang terjadi maka hidup ini akan tenang.
Kendalikan Pikiranmu
Jika kamu mengalami patah hati, kendalikan pikiranmu. Sadarlah bahwa hal tersebut adalah sebagian kecil dari permasalahan hidup. Terkadang kita menghadapi hal seperti itu seolah-olah merasa bahwa hidup kita sudah selesai.
Padahal di luar sana pada dasarnya masih banyak yang menaruh cintanya padamu. Meminjam kata Pak Faiz – masih banyak episode kehidupan selanjutnya yang belum kita rasakan. Kita memiliki potensi yang banyak, maka jangan kamu benamkan hanya karena satu permasalahan saja.
Seperti kata Marcus Aurelius, “Kebahagiaan hidupmu bergantung pada kualitas pikiranmu. Oleh karena itu jagalah sebagaimana mestinya dan berhati-hatilah agar engkau tidak memiliki pikiran yang tidak sesuai dengan kebajikan dan kewajaran.”
Pikiran kita memengaruhi kualitas hidup. Ketika kita mengalami patah hati, sesekali boleh bersedih, namun jangan larut dan berlebihan. Kita harus sadar masih ada episode-episode lain yang belum kita rasakan. Jadikan pengalaman masa lalu sebagai ajang pembelajaran untuk memperbaiki kualitas hidup berikutnya.
Kendalikan Dirimu
“Apapun yang aku lakukan atau orang lain katakan, aku harus tetap menjadi zamrud dan mempertahankan warnaku”
Ucapan maupun sikap yang dapat membuatmu patah hati jangan sampai mengubah kepribadianmu. Tetaplah menjadi diri sendiri. Meminjam istilah Marcus Aurelius, tetaplah menjadi zamrud, atau batu permata yang tetap berharga bagi orang yang mengenalinya. Oleh karenanya, kendalikan dirimu sendiri dari patah hati. Karena kamu begitu berharga, sayang jika terjebak dalam patah hati yang tidak ada gunanya.
Jangan Memperparah Keadaan
Marcus berkata: “Betapa jauh lebih berbahaya konsekuensi dari kemarahan dan kesedihan daripada keadaan yang membangkitkannya dalam diri kita!”
Ketika kamu patah hati, kendalikan dirimu, jangan sampai lepas kontrol. Tidak baik hanya karena patah hati lantas kamu mendiamkan semua orang, menyendiri terlalu lama, atau merusak suatu barang.
Karena jika demikian, efeknya jauh lebih besar, sedangkan kita baru menyadarinya saat rasa patah hati itu mulai reda. Mungkin rasa patah hati sekilas dapat terlampiaskan, namun bukankah penyesalan akan selalu hadir di akhir keputusan yang salah?
Jangan Malu Meminta Bantuan
Patah hati bukanlah suatu aib. Semua orang tentu pernah merasakannya. Oleh karena itu bersikap terbukalah dengan bercerita kepada orang lain. Siapa tahu dengan itu, meskipun kamu tidak mendapat nasihat yang memuaskan, kamu bisa merasa lega. Seorang prajurit yang terluka pun tidak akan mampu memanjat tembok penghalang tanpa adanya bantuan orang lain.
Pelajaran Apa yang Bisa Diambil
Patah hati hanyalah sedikit dari permasalahan kehidupan yang kompleks ini. Al-Quran sendiri telah menjelaskan bahwa mungkin ada beberapa hal yang menurutmu baik, namun tidak menurut Allah. Begitu pula sebaliknya, ada beberapa hal yang mungkin kamu benci. Namun justru di dalamnya memberi pelajaran yang begitu berharga.
“Jika ada sesuatu yang menghalangimu untuk mencapai tujuan tepat waktu, itu adalah kesempatan untuk melatih kesabaran.
Jika ada seseorang menyakitimu, itu adalah kesempatan untuk berlatih memaafkan.
Jika ada sesuatu yang sulit merintangimu, itu adalah kesempatan untuk menjadi lebih kuat.”
-Marcus Aurelius-
Dan semua itu supaya kamu menjadi manusia yang lebih tangguh, lebih sadar dan lebih berkualitas. []