Mubadalah.id – Pada kesempatan tatap muka online kuliah pasca sarjana Unusia Jakarta angkatan 2020, di jadwal mata kuliah Pemikiran Hukum Islam Nusantara, yang diampu oleh Kiai Ulil Abshar Abdalla, Jum’at 22 Oktober 2021, saya mendapat jadwal menanggapi tema “teks, konteks dan problem penafsiran hermeneutika”. Seketika saya teringat pemikiran Amina Wadud terkait perempuan dalam Al-Qur’an.
Dalam penjelasan singkatnya Kiai yang lebih akrab kita sapa Gus Ulil, menlontarkan satu pertanyaan. “Bagaimana cara memperlakukan Alqur’an dan hadits? Apakah harfiah, ataukah memperhatikan konteks? Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh cendekiawan H. Munawir Syadzali sebagai orang yang meng-kontekstualisasikan hukum Islam. Jika menilik hermeneutika, apakah boleh menafsirkan dengan teori penafsiran Barat?
Teks, Konteks dan Problem Penafsiran Hermeneutika
Konteks di sini saya maknai sebagai kondisi di mana semua umat Islam kembali pada teks yang paling liberal sekalipun, pada akhirnya akan kembali pada teks. Di mana Alqur’an dan hadits sebagai sumber primer atau utama, sementara sekunder merupakan teks yang menafsirkan sumber utama.
Sebagai contoh, mazhab Maliki menggunakan metode Maslahah Al-Mursalah (Istishlaah). Sedangkan mazhab Syafi’I qiyas, yakni tidak mau lepas dari Alqur’an dan hadits. Langkah ini dianggap sebagai jalan tengah antara tekstualis dan rasionalisme.
Pengertian hermeneutika adalah ta’wil, sedangkan tafsil merupakan memahami sesuatu pada level zahir atau permukaan saja. Sehingga ta’wil kita maknai juga dengan memahami sesuatu pada level batin atau lebih mendalam. Sementara tafsir yakni menafsirkan sesuatu dalam bentuk dhahir. Dengan melihat penjelasan tersebut, maka hermeneutika kita tempatkan sebagai filsafat tafsir, atau metodologi tafsir sosial.
Berangkat dari pemahaman di atas, saya menyampaikan tanggapan dengan mengulas pemikiran tokoh Hermeneutika Amina Wadud, di mana secara kebetulan saya pernah bertemu langsung dengan beliau dalam acara penganugerahan Dr. (H.C) KH Husein Muhammad di Aula UIN Wali Songo Semarang pada tahun 2019.
Secara kebetulan pula, saya mendapat mandat untuk bertugas mewawancarai beliau. Meski dengan keterbatasan bahasa, ada beberapa kalimat yang bisa saya tangkap, sebagai apresiasi beliau terhadap gelar kehormatan terhadap Kiai Husein Muhammad tersebut.
Kembali pada tokoh yang mendapat gelar Lady Imam, Amina Wadud yang merupakan salah satu tokoh feminis yang pemikirannya seringkali menimbulkan kontroversi. Terlepas dari polemik yang terjadi mengenai pemikiran Amina Wadud, saya berusaha membahas sedikit mengenai pemikiran dan sudut pandang Amina Wadud terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang membicarakan perihal perempuan.
Hermeneutika ala Amina Wadud
Kajian dan pemikiran Amina Wadud membahas seputar isu feminis dan gender. Hermeneutika yang Amina Wadud tawarkan, merupakan hermeneutika feminis yang menempatkan al-Quran sebagai pondasi dan obyek utamanya.
Amina Wadud mengklasifikasikan penafsiran yang membahas mengenai perempuan ke dalam tiga kategori. Kategori pertama, ialah tafsir tradisional. Pada kategori tafsir tradisional ini menggunakan metodologi atomistik yakni penafsiran yang ia mulai dengan pembahasan dari ayat pertama pada surat pertama. Kemudian beralih pada ayat kedua surat pertama hingga seterusnya.
Tafsir tradisional dalam upayanya menafsirkan Al-Qur’an, mayoritas tertulis atau ditafsirkan oleh kaum pria, sehingga penafsirannya dianggap meniadakan pengalaman, perspektif dan kebutuhan perempuan. Pada kategori ini oleh Wadud dirasa kurang dalam kaitannya ‘ramah gender’.
Kategori kedua, adalah kategori reaktif. Kategori ini menggambarkan reaksi pemikir modern terhadap pengalaman yang perempuan alami. Baik secara individu ataupun masyarakat, dan celakanya hal tersebut dianggap berasal dari al-Quran. Mereka (para pemikir modern) meniadakan analisis yang komprehensif terhadap al-Quran. Maka kategori kedua ini oleh Amina Wadud juga dianggap tidak sesuai dengan wacana feminis Islam, karena bertolak belakang terhadap al Qur’an. Di mana al-Quran adalah sumber utama dan ideologi Islam.
Kategori ketiga, ini merupakan kategori penafsiran yang Amina Wadud tawarkan, ialah metode holistik. Metode holistik adalah metode yang mempertimbangkan kembali penafsiran Al-Qur’an seraya mengaitkannya dengan isu-isu sosial, ekonomi, politik, moral dan juga mengenai isu perempuan. Selain itu, Wadud juga menaruh ‘pengalaman perempuan’ dalam interpretasi yang ia lakukan.
Dalam menganalisis ayat Al-Qur’an yang membahas mengenai perempuan, Amina Wadud menguraikannya menjadi lima metode. Pertama, menganalisis ayat tersebut sesuai konteksnya. Kedua, menganalisis ayat tersebut sesuai konteks pembahasan topik-topik yang sama dalam Al-Qur’an.
Ketiga, menganalisis ayat tersebut menggunakan unsur gramatikal dan sintaksis yang sama dalam Al-Qur’an. Keempat, menganalisis dari sudut prinsip al-Quran yang menolaknya. Kelima, menganalisis ayat tersebut menurut konteks Al-Qur’an sebagai weltanschauung.
Kebahasaan, Prior text, dan Kontekstualisasi
Pemikiran Amina Wadud menitik beratkan pada unsur kebahasaan, prior text dan kontekstualisasinya. Bahasa sangat berperan penting dalam wacana hermeneutika ini. Perbedaan unsur bahasa penafsir dapat menyebabkan perbedaan pembacaan makna. Unsur kebahasaan ini juga dianggap penting terlebih untuk menganalisis persoalan dimensi ghaib. Di mana dalam hal ini kaitannya dengan penciptaan manusia.
Kemudian mengenai prior text. Prior text adalah latar belakang, persepsi dan keadaan individu si penafsir. Hal ini dapat kita katakan sebagai subyektifitas penafsir. Dalam hermeneutika Amina Wadud, prior text berperan penting karena Amina Wadud sebagai penafsir berinteraksi dengan teks sesuai dengan situasi, kondisi dan konteks yang terjadi pada perempuan.
Ayat-ayat Al-Qur’an memang tidak berubah tetapi pemahamannya dapat berubah mengikuti penafsiran si penafsir. Maka penafsir menempati posisi yang penting dan utama dalam diskursus keilmuan tafsir.
Ada beberapa kata kunci dari tanggapan yang saya sampaikan, yang jujur belum saya pahami. Pertama tafsir atomistic, dan kedua, konteks Alqur’an sebagai weltanschauung. Kemudian Gus Ulil menjawab pertanyaan saya. Pertama, tafsir atomistic adalah menafsirkan secara per ayat atau klasik. (sepotong-potong).
Keunggulannya, kita bisa menemukan insight di luar dugaan kita. Contohnya pada kata “khalaqa dan ja’ala”, yang artinya sama-sama penciptaan/menjadikan/menciptakan. Sedangkan weltanschauung adalah Bahasa Jerman, yang maknanya melihat dunia/pandangan secara lebih luas. Sehingga, tafsir holistic penting jika tafsir atomistic juga kita gunakan dalam upaya menafsirkan sesuatu dari sumber primer. (Alqur’an dan Hadits). []