Mubadalah.id – Ketika para ulama, baik klasik maupun kontemporer, mengaitkan pemukulan anak (sebagai metode mendidik) dengan isu pemukulan istri yang harus terukur dan berjenjang, maka pemukulan anak juga bisa didiskusikan ulang dengan pendekatan yang sama dalam isu pemukulan istri.
Salah satu ulama kontemporer yang menginterpretasikan ulang isu pemukulan istri adalah Ibn Asyur (w. 1973), seorang ulama karismatik dari Tunisia
Dengan menggunakan basis kerangka maqashid al-syariah, Ibn Asyur memandang pemukulan istri bisa dilarang melalui kebijakan pemerintah.
Dalam logika fikihnya, pemukulan itu metode untuk memperbaiki relasi suami istri, sementara praktiknya banyak suami melakukannya untuk melampiaskan kemarahan, sehingga konflik semakin meruncing.
Karena itu, melarang pemukulan merupakan menghindarkan suami dari kemungkaran dan untuk melindungi istri dari praktik buruk pemukulan yang tidak terkontrol.
Nabi Saw dalam berbagai Hadis sahih, beliau tidak pernah melakukan pemukulan sama sekali, baik pemukulan kepada perempuan, atau kepada pelayan beliau (Shahih Muslim, no. 6195). Pelayan Nabi Saw adalah Anas bin Malik r.a.
Pada saat ia diminta kedua orangtuanya untuk melayani Nabi Saw yang baru tiba di Madinah, Anas r.a. berusia sepuluh tahun, artinya masih dalam usia anak-anak.
Dari Aisyah r.a berkata: “Rasulullah Saw tidak pernah memukul, sekalipun, dengan tangannya, tidak kepada perempuan (istri), tidak juga kepada pelayan.” (Shahih Muslim, no. 6195).
Dari Anas bin Malik r.a. berkata: Aku menjadi pelayan Rasulullah Saw. selama sepuluh tahun. Sepanjang waktu itu Rasulullah tidak pernah mengatakan “ah” kepadaku (menyalahkan). Tidak juga mengatakan tentang sesuatu (yang ia lakukan) olehku, mengapa kamu lakukan, atau kenapa tidak kamu lakukan yang lain. (Shahih Muslim, no. 6151).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.