Mubadalah.id – Peringatan Hari Ibu telah lewat beberapa hari yang lalu. Namun ada satu pertanyaan menggelitik dari postingan Dosen Sospol UGM Abdul Gaffar Karim pada 22 Desember 2021. Narasi lengkapnya seperti ini. “30 menit menjelang berakhirnya Hari Ibu. Tak kulihat seorang perempuan pun yang membuat status renungan yang evaluative, tentang dirinya sendiri sebagai seorang ibu: sudah baikkah dia memperlakukan anak-anaknya?
Ya setelah membaca postingan tersebut, saya menyadari satu hal tentang Hari Ibu itu, pertama romantisasi kebaikan atau jasa ibu yang mengandung, melahirkan serta membesarkan. Ibu yang terperangkap dalam tugas reproduksi dan domestik, yang ditulis dengan tinta emas sebagai perawat peradaban umat manusia di dunia. Soal ini, saya pernah berseloroh, andai seluruh perempuan di dunia mogok hamil, punah sudah makhluk yang bernama manusia itu.
Kembali pada refleksi pengakuan dosa saya sebagai seorang ibu, tentu banyak sekali. Hari-hari ini, perempuan menuntut pengakuan atas potensi dan kemanusiaan, seringkali dihadapkan pada perasaan bersalah ketika harus meninggalkan tugas pengasuhan anak di rumah misalkan. Terlebih sampai anak meregang kesakitan tanpa kehadiran seorang ibu. Perasaan dosa dan bersalah semakin berlipat-lipat.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana kondisi para Ibu yang harus bekerja jauh dari keluarga, dengan meninggalkan anak-anak yang masih belia. Mengais rezeki di negeri seberang, dengan segala tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Satu sisi dituntut menaklukkan perbedaan bahasa, budaya, dan keyakinan. Di sisi lain menebas perasaan bersalah, dan mengemas rasa tangis diam-diam meredam rindu pada anak-anak di kampung halaman.
Pengakuan dosa kedua, ketika mengalami tekanan pekerjaan seringkali kemarahan dan emosi itu diluapkan pada anak-anak yang tak mengetahui, atau belum memahami bagaimana perasaan orang dewasa. Mungkin, anak hanya minta perhatian, cari muka, atau hanya sekejap ingin dilihat atau didengarkan oleh ibunya, atas sekian aktivitas yang ia lakukan. Namun karena kondisi yang kurang tepat, di mana deadline pekerjaan menunggu, yang ada adalah kemarahan, dan emosi yang menyulut pertengkaran.
Lagi-lagi, ibu terjebak dalam perasaan bersalah dan terlintas ingin pergi memilih ruang dan waktu hanya untuk sendiri. Ya, mendialogkan seluruh perasaan dan pikiran terutama dengan pasangan menemukan relevansinya di sini. Di mana praktik kesalingan tidak hanya soal pembagian peran dalam rumah tangga, dan seluruh proses kehidupannya. Namun juga mendengarkan perasaan seorang ibu, bagaimana ia harus mengatasi kesulitan-kesulitan ini.
Dalam renungan melalui tulisan ini, saya membuat tahapan bagaimana agar perempuan menjalani perannya sebagai apapun dalam kehidupan dengan bahagia. Menjadi istri atau ibu adalah pilihan. Tetapi seorang perempuan berhak bahagia dengan pilihannya itu.
Pertama, suami istri, ayah dan ibu, laki-laki dan perempuan punya tugas yang sama sebagai khalifah fil ard. Sehingga tidak perlu ada dikotomi pekerjaan domestik dan publik. Semuanya adalah tugas bersama, dengan pembagian peran yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing orang.
Kedua, keluarga adalah support system atau dukungan terbesar bagi siapapun agar mampu meningkatkan kapasitas diri, tanpa terjebak oleh perasaan-perasaan bersalah yang saya sebutkan di atas. Dalam hal ini, bisa pasangan hidup jika sudah menikah. Sementara bagi yang belum tentu orang tua dan anggota keluarga lain. Bisa kakak atau adik.
Ketiga, untuk memperoleh dukungan-dukungan tersebut, harus ada komunikasi untuk menyamakan persepsi menjadi satu frekuensi. Ibu jika merasa lelah dan letih harus menyampaikannya pada yang lain, sehingga siapapun bisa menggantikan perannya itu. Pun bila ada peran ibu yang tak bisa digantikan oleh orang lain, maka permudahlah seluruh urusan yang terkait dengan dirinya seperti cuti pekerjaan ketika anak sedang sakit.
Saya berharap ke depan tidak perlu ada lagi syndrome baby blues yang kerap menghinggapi ibu paska melahirkan. Atau perasaan seorang ibu yang merasa bersalah, berdosa dan tak berguna ketika meninggalkan anak-anak untuk mengais rezeki menjadi bagian dari tulang punggung keluarga, memperbaiki nasib demi masa depan anak-anaknya di kemudian hari. Tak hanya saya, tapi untuk semua ibu dan calon ibu yang membaca tulisan ini. []