Mubadalah.id – Buku “Qira’ah Mubadalah” karya Faqihuddin Abdul Kodir memberikan penjelasan mengenai teori mubadalah dengan mengkaji ayat al-Qur’an dan Hadis yang masyarakat anggap sebagai bias gender, kemudian direspon baik dengan pemahaman keadilan gender dan relasi kesalingan.
Salah satu pembahasan mengenai Pengasuhan dan Pendidikan anak dalam buku ini menjelaskan secara kesalingan antara laki-laki dan perempuan di mana kedua hal tersebut merupakan tugas bersama. Pada awal bab menerangkan bahwa kuatnya suatu keluarga maka menjadi salah satu kekuatan masyarakat. Begitupun sebaliknya, lemahnya pondasi keluarga maka menjadi kelemahan masyarakat.
Demikian itu merupakan tanggung jawab bersama, orang tua maupun anggota keluarga sesuai dalam perspektif mubadalah. Perspektif mubadalah memberikan makna positif untuk sesuatu yang terbaik, dan menjauhkan dari keburukan. Keluarga menjadi tempat ternyaman dalam mengembangkan potensinya masing-masing setiap anggota keluarga.
al-Ummu Madrasah Ula
Sebuah ungkapan “Ibu adalah sekolah bagi-anak-anak” dalam perspektif mubadalah ini berarti bahwa kalimat tersebut merupakan proklamasi pentingnya sebuah pendidikan untuk perempuan agar mampu menjadi ibu yang pintar dalam mendidik anak. Secara subtansi orang-orang terdekatlah yang mendidik anak, maka dari itu tidak hanya ibu namun ungkapan tersebut juga untuk ayah.
Keduanya baik laki-laki dan perempuan, ayah serta ibu memiliki tugas yang sama dalam mendidik dan mengasuh anak-anak mereka. Oleh sebab itu, “al-ummu madrasah ula” dalam tafsir mubadalah artinya “Orang tua merupakan sekolah pertama dan utama”. Sesuai dalam hadis bahwa seorang ibu melahirkan anaknya dalam keadaan fitrah dan orang tuanyalah yang memberikan dan menurunkan agama kepadanya.
Pada hadis Shahih Bukhari no.1373 memberikan penjelasan lebih subtansi dalam perspektif mubadalahnya bahwa orang tua mentransformasikan identitas agama dan segala pengetahuan terhadap anak. Maka, seorang ayah dan ibu berpartisipasi aktif dalam menyayangi, mengasuh dan mendidik agar anak memiliki psikis yang kuat serta tumbuh kembang yang baik.
Melihat kisah dari nabi Muhammad bahwa beliau sangat menyayangi dan dekat dengan anak-anak merupakan bukti nyata bahwa seorang laki-laki juga ikut andil dalam pengasuhan anak.
Keteladanan Nabi Muhammad dalam Mengasuh Anak
Lebih gamblangnya lagi terdapat pada tiga hadis, yaitu hadis riwayat Shahih Bukhari no.6062, Sunan ai-Nasa’I no.1149, dan Sunan al-Tirmidzi no.4143, ketiga hadis tersebut menjelaskan keteladanan nabi Muhammad dalam mengasuh anak. Beliau menyayangi Husen dan Husain dengan menggendong, mengemban, dan mengajak saat salat berjamaah di masjid.
Hal ini memberikan pemahaman bahwa Nabi Muhammad memberikan contoh kepada khalayak umum bahwa seorang ayah (laki-laki) ikut berperan dalam mengasuh anak merupakan ajaran Islam. Sehingga umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan bisa menirunya dengan baik.
Pengasuhan anak dalam perspektif mubadalah dibaca secara kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Terdapat garis besar bahwa mengasuh anak dan mendidik, bahkan melakukan pekerjaan rumah tangga juga dapat disebut sebagai jihad. Selain itu, memenuhi kebutuhan seorang istri maupun sebaliknya merupakan sebuah ibadah.
Seperti dalam kisah Utsman bin Affan yang tidak mengikuti perang dan lebih memilih merawat istrinya yang jatuh sakit. Dalam hal ini beliau mengalami keraguan atas keputusan dan hal domestik yang ia lakukan sehingga Rasulallah pun bersabda :
Rasulullah berkata kepada Utsman, “Kamu memperoleh pahala yang sama seperti orang yang ikut Perang Badar, bahkan juga (berhak memperoleh) bagian (dari rampasan perang).” (Shahih Bukhari No. 3745).
Mewujudkan Keluarga yang SAMAWA
Pemaknaan dalam sebuah hadis maupun ayat al-Qur’an harus berdasarkan pada perspektif mubadalah. Subtansi pada teks-teks rujukan umat islam harus bisa kita implementasikan kepada perempuan dan laki-laki.
Melayani pasangan menjadi anjuran untuk kedua belah pihak, laki-laki melayani kepada perempuan maupun perempuan melayani kepada laki-laki. Sehingga relasi pernikahan ini memberikan hasil yang keluarga inginkan yaitu “sakinah, mawaddah, dan rahmah” segala sesuata untuk keluarga baik dalam melayani pasangan, melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh, dan mendidik anak akan bernilai pahala dan ibadah kepada Allah SWT.
Sebuah pasangan memiliki peran masing-masing. Peran sebagai istri maupun peran sebagai suami dalam mengurus keluarga harus ada kesepakatan bersama. Kepedulian dan saling menguatkan satu sama lain, sehingga keadilan gender dalam keluarga bisa terpenuhi.
Keduanya saling bekerjasama dalam menyukseskan peran pengasuhan dan pendidikan anak demi terrcapainya tumbuh kembang anak yang baik. Bersama-sama mewujudkan keluarga yang membahagiakan bagi seluruh anggota. Keluarga yang baik dan kuat akan mewujudkan negara yang adil dan sejahtera (baldah thayyibah). []