Mubadalah.id – Penghormatan terhadap hak-hak reproduksi, agama Islam berikan terhadap perempuan yang sedang haid dan nifas. Berbeda dengan tradisi Yahudi yang memandang perempuan haid sebagai najis dan harus diasingkan dari kampung halaman, Islam tidak memperlakukan perempuan demikian.
Haid dipandang sebagai siklus bulanan yang sifatnya alami. Bahkan haid bulanan yang teratur merupakan hal yang positif, yakni sebagai salah satu pertanda bahwa perempuan itu sehat dan normal.
Oleh karena itu, perempuan haid boleh bergaul dengan semua orang dan bebas berhubungan dengan suami selain hubungan seksual. Yang najis hanyalah darah haid, dan bukan perempuan itu sendiri. Konsekuensinya, yang Islam larang hanya bersetubuh, dan bukan yang lain (QS. al-Baqarah (2): 222).
Rasulullah sendiri dalam banyak hadits sahih dari Aisyah ra. tetap berhubungan biasa dengan istrinya yang haid. Tidur seranjang, makan sepiring, dan minum segelas. Tidak ada perilaku diskriminatif terhadap perempuan yang sedang haid.
Kalau pun ada larangan bersetubuh, hal ini pada hakikatnya demi menjaga organ reproduksi perempuan itu sendiri. Karena secara klinis terbukti bahwa berhubungan intim ketika haid sangat merugikan kesehatan, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Keringan Ibadah bagi Perempuan Haid dan Nifas
Selanjutnya, dalam ibadah-ibadah tertentu, perempuan yang sedang haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat, puasa, tawaf, dan i’tifikaf. Hal tersebut tidak berarti mendiskriminasi perempuan, namun justru menaati perintah Allah dengan menjauhi larangan-Nya.
Jadi, jika dalam kondisi suci dan normal perempuan berhak mendapat pahala karena menjalankan perintah-Nya, dalam kondisi haid dan nifas, dia pun berhak memperoleh pahala karena secara sadar mematuhi larangan-Nya. Inilah keadilan Tuhan, yang mempertimbangkan keadaan fisik dan mental perempuan ketika menjalani proses-proses reproduksinya.
Keadilan yang dibawa Islam juga bisa dirasakan oleh perempuan yang bercerai dan pisah dari suaminya. Tidak seperti pepatah habis manis, sepah dibuang, perempuan yang diceraikan masih berhak atas nafkah dan tempat tinggal, serta tidak boleh disakiti, baik fisik maupun psikis. (QS. at-Thalaq (65): 6).
Di ranah publik, Islam juga membuka akses yang lebar dan adil bagi perempuan. Aktivitas mencari ilmu, mencari nafkah, melakukan transaksi, kegiatan sosial, dan bahkan aktivitas politik juga dibuka untuk perempuan. Sama seperti laki-laki, semua itu harus dilakukan oleh perempuan secara terhormat dan bermartabat. []