Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Fikr Cirebon, Buya Husein Muhammad menjelaskan tentang makna kata “Rahmah”.
Kata “Rahmah”, menurut Buya Husein, selalu diterjemahkan dengan kasih atau kasih sayang. (Baca juga: Penjelasan Istri Shalihah Menurut Buya Husein (10))
Kata “Rahmah”, lanjut kata Buya Husein, begitu populer di tengah-tengah masyarakat. Al-Qur’an menyebut kata ini sebanyak 286 kali. Berikut ayat al-Qur’annya :
وما ارسلناك الا رحمة للعالمين
Artinya : “Dan Aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta”.
Lalu menurut Buya Husein, apa maknanya? Kata ini, jawab Buya Husein, mengandung paling tidak tiga makna.
Tiga Makna Rahmah
Pertama, “Riqqah fi al-Qalb”, hati yang sensitif, atau hati yang peka. Dalam bahasa yang lebih populer mungkin disebut “empati”. Ialah sebuah emosi merasakan apa yang dirasakan orang lain.
Ialah sebuah perasaan terhadap yang lain tanpa jarak. Aku merasakan apa yang kamu/dia rasakan. Atau aku mengerti apa yang kamu/dia alami. Atau dalam bahasa puitiknya : “kau/dia adalah aku”. (Baca juga: Penjelasan Istri Shalihah Menurut Buya Husein (9))
Dalam konteks perkawinan, Buya Husein memaparkan, kata “rahmah” bermakna hendaklah suami memahami dan merasakan apa yang istri rasakan, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Demikian pula sebaliknya, istri merasakan apa yang suami rasakan, dalam suka dan duka. Makna kedua adlh “al-Ta’athuf”, berarti lembut atau kelembutan atau sayang.
Ini berlaku dalam ucapan dan dalam tindakan. Suami isteri hendaklah saling berkata dan bertindak baik, santun, bergairah, menyambut yang lain dengan wajah binar, tidak cemberut, tidak kasar dan sejenisnya.
Makna ketiga dari kata “Rahmah” adalah “al-Maghfirah”, memaafkan.
Dalam relasi antar personal, termasuk suami-isteri, akan selalu atau acap terjadi ketidaksamaan pendapat atau kekeliruan, kelalaian, kesalahan dan sejenisnya.
Maka kasih menuntut masing-masing untuk rendah hati dan memaafkan jika ada kesalahan pasangannya. (Baca juga: Penjelasan Istri Shalihah Menurut Buya Husein (8))
Tiga makna itu berada dalam wilayah kemampuan manusia. Artinya bisa saling mengusahakan. Inilah makna “Ja’ala” (menjadikan) yang membedakannya dari kata “khalaqa” (menciptakan).
“Khalaqa” (Menciptakan) adalah mengada dari ketiadaan. Dan ini wilayah kekuasaan Tuhan. Sedangkan “Ja’ala” (menjadikan) adalah mengada dari yang ada.
Keberadaan atau wujud manusia adalah ciptaan Tuhan. Saling mencintai dalam arti mawaddah, berkata-kata/bersikap lembut dan saling memaafkan adalah dalam domain ikhtiar manusia, karena itu harus saling mengusahakan.
Jadi pernikahan adalah transaksi/perjanjian suci antar laki-laki dan perempuan di hadapan Allah untuk penyatuan tubuh dan ruh, jiwa dan raga untuk sebuah cita-cita luhur.
Dalam dunia sufisme penyatuan ini terkenal dengan “Ittihad”, atau “Hulul”. Dalam keadaan ini keduanya melebur dan hilang bentuk.
Demikian lah. Betapa indahnya penyatuan dua jiwa, hati dan pikiran itu. Dan begitulah pikiranku tentang makna kesalehan suami dan istri. (Rul)