Mubadalah.id – Beberapa minggu lalu ramai istilah “Wahabi lingkungan.” Istilah itu tertuju kepada para aktivis lingkungan yang mungkin dianggap terlalu ‘environmentalist’ dan keras menolak proyek-proyek tambang. Publik ramai. Saling menafsirkan apa dan siapa Wahabi lingkungan.
Bagi saya, pelabelan tersebut bukan hanya soal siapa mereka. Pelabelan semacam ini bukan sekadar mainan istilah—ia berbahaya. Ia menyederhanakan persoalan kompleks, membelokkan arah diskusi, dan mengaburkan akar dari kemarahan ekologis yang sedang berkembang di banyak tempat, termasuk di Indonesia.
Menyebut aktivis lingkungan sebagai “Wahabi lingkungan” bukan hanya reduktif, tetapi juga dapat menyesatkan secara intelektual. Ia menggantikan perdebatan substansi dengan sentimen identitas.
Alih-alih mendiskusikan secara serius argumen yang mendukung maupun menolak praktik pertambangan—baik dari segi ekologi, sosial, ekonomi, maupun hukum—narasi publik malah terjebak pada pelabelan kelompok. Ini melemahkan kualitas wacana publik dan membiarkan bias menguasai ruang diskusi yang seharusnya berbasis data dan nilai keadilan.
Saya pribadi tidak sepakat dengan pelabelan terhadap individu atau kelompok mana pun, terutama dalam isu yang menyentuh hajat hidup orang banyak seperti lingkungan.
Pelabelan seperti “Wahabi lingkungan,” cenderung membentuk stereotipe yang tidak adil, yang dalam jangka panjang bisa melahirkan stigma dan bahkan diskriminasi. Yang lebih mengkhawatirkan, pelabelan ini seringkali menjadi cara untuk membungkam kritik, bukan untuk memahami isi kritik itu sendiri. Padahal, kerja-kerja para aktivis lingkungan bukan sekadar ‘teriak-teriak di jalanan’.
Mereka melakukan kerja nyata yang kompleks dan melelahkan. Selain itu mereka mengumpulkan data kerusakan lingkungan, mengadvokasi masyarakat terdampak, mendampingi warga dalam sidang AMDAL, hingga menyuarakan hak-hak masyarakat adat yang kerap terabaikan dalam proyek-proyek ekstraktif. Mereka hadir ketika sistem hukum tak berpihak, ketika negara abai dan bahkan melanggar Undang-undang, dan ketika media massa terkooptasi.
Ekstrem bagi Siapa?
Jika perjuangan untuk tanah yang subur, sungai yang bersih, dan udara yang layak terhirup kita anggap ekstrem/Wahabi, maka pertanyaannya adalah: ekstrem bagi siapa?
Saya memahami bahwa dalam setiap gerakan sosial, termasuk gerakan lingkungan, selalu ada spektrum. Mungkin memang ada yang terlalu idealis, bahkan utopis. Tapi kita juga tak boleh lupa bahwa dalam isu ini, ekstremisme bukan hanya milik aktivis lingkungan. Ia juga bisa hadir dalam bentuk ekstremisme pembangunan.
Ekstrem pembangunan adalah ketika alam kita jadikan objek eksploitasi tanpa batas bahkan pelakunya adalah ‘negara’ dengan melanggar Undang-undang dan membuat kebijakan yang timpang dan tidak berdasar, serta demi target angka pertumbuhan ekonomi yang hanya memihak elite.
Ketika tambang kita anggap simbol kemajuan nasional, padahal data menunjukan masyarakat di sekitar tambang PUN tidak seluruhnya menikmati hasil tambang. Alih-alih anugrah, tambang justru musibah yang menyisakan longsor, krisis air, pencemaran laut, dan tanah yang tak lagi terolah.
Ekstrem Pembangunan termasuk di dalamnya ketika masyarakat yang mempertahankan tanahnya dituduh anti-investasi. Ketika hutan yang menjadi rumah makhluk hidup selama ribuan tahun, diubah menjadi data kuantitatif belaka: hektar per tahun, persen per PDB.
Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2023), Indonesia kehilangan 1,35 juta hektar hutan alam sepanjang 2017–2021. Sementara itu, data WALHI mencatat bahwa sepanjang 2022, terjadi setidaknya 278 konflik agraria di sektor sumber daya alam—banyak di antaranya melibatkan tambang, sawit, dan proyek infrastruktur besar. Ini bukan alarmisme. Ini adalah kenyataan.
Triple Planetary Crisis
Kita perlu berhenti melihat perjuangan lingkungan sebagai ekstremisme semata. Yang kita hadapi hari ini bukan sekadar krisis lingkungan biasa, tetapi triple planetary crisis. Krisis iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan polusi—sebagaimana teridentifikasi oleh UNEP (2022).
Ketiganya saling berkaitan dan memperdalam ketimpangan sosial, terutama di negara-negara Global South seperti Indonesia. Maka tak heran jika gerakan lingkungan semakin bersuara keras—karena mereka sedang menyuarakan rasa genting atas masa depan yang terancam.
Dalam kajian ilmu sosial, pelabelan terhadap kelompok tertentu dapat memicu stigmatisasi, seperti penjelasan Howard Becker dalam Labeling Theory (1963). Ketika seseorang kita beri label menyimpang, masyarakat akan memperlakukannya sesuai label tersebut, bukan berdasarkan fakta atau kontribusinya.
Dalam konteks ini, aktivis lingkungan yang memperjuangkan kehidupan berkelanjutan malah dicap sebagai pengganggu pembangunan. Ini ironi yang tidak bisa kita biarkan. Dampak nyata yang paling merugikan, banyak aktifis lingkungan yang ‘diperkarakan’ dan mendapat ketidakadilan.
Pola pelabelan ini juga mirip dengan cara negara menyikapi apa yang kita sebut ekstremisme agama. Alih-alih menelusuri penyebab struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, dan sistem pendidikan dan keagamaan fokusnya justru pada simbol dan ekspresi luar. Begitu pula dalam isu lingkungan—alih-alih mendalami kerusakan dan ketidakadilan ekologis, sebagian orang lebih sibuk memberi label.
Kasus Bencana dan Ketidakadilan Lingkungan
Melihat merebaknya kasus-kasus bencana dan ketidakadilan lingkungan saat ini, justru seharusnya yang kita lakukan adalah membuka pemahaman bersama tentang masa depan lingkungan. Bukan malah kita persempit oleh pelabelan dan tudingan identitas.
Alih-alih menyelami kompleksitas krisis ekologis dan dampaknya terhadap kehidupan rakyat kecil, sebagian pihak justru sibuk membingkai aktivisme sebagai bentuk fanatisme atau gangguan. Ini bukan hanya kemalasan intelektual, tapi juga bentuk kekerasan simbolik yang secara halus menyingkirkan suara-suara yang paling dekat dengan kenyataan kerusakan.
Karena itu, dalam situasi di mana bumi sedang sakit dan suara masyarakat terdampak kerap terbungkam, keberpihakan pada keadilan ekologis tidak boleh lagi dianggap sebagai sikap ekstrem. Justru diam, atau membiarkan kerusakan atas nama kemajuan tanpa kritik, itulah yang sikap yang kita pertanyakan.
Kita tidak sedang kekurangan data, tapi kekurangan keberanian untuk melihatnya sebagai tanda peringatan. Maka tugas kita hari ini bukan melabeli, tapi mendengarkan. Bukan menertawakan aktivis, tapi belajar dari kerja panjang mereka yang terus berjuang, meski sering dicap sebagai musuh pembangunan. []