Mubadalah.id – Dalam pembahasan ilmu fikih, haid termasuk hadas atau sesuatu yang menghalangi seseorang untuk beribadah seperti shalat.
Sebagai hadas, haid sama seperti junub akibat hubungan seks atau saat keluar sperma. Hanya saja haid lebih lama durasinya, dan tidak bisa dihentikan sendiri.
Kalau junub bisa kita kendalikan waktunya, sementara haid harus menunggu darah selesai keluar.
Penting sekali untuk berempati kepada perempuan yang sedang haid, sehingga tidak mudah mengeluarkan pandangan yang menyulitkan dan membuat mereka terhalang dari manfaat sosial yang seharusnya diperoleh. Misalnya melarangnya masuk masjid, padahal pekerjaannya di dalam masjid.
Larangan perempuan yang sedang haid masuk masjid memang ada dalam fikih, tetapi pandangan itu memiliki perbedaan dan perdebatan. Seseorang bisa mengambil pandangan yang tidak memperburuk keadaan perempuan.
Pada kasus manfaat sosial misalnya, jika kita memilih pandangan yang melarang perempuan masuk masjid, seharusnya kegiatannya mereka lakukan di luar masjid agar perempuan yang sedang haid bisa tetap mengikuti.
Atau kalau kita memaksa tetap menyelenggarakan kegiatan di masjid, kita harus bersedia untuk menerima pandangan ulama fikih yang manyatakan perempuan boleh masuk dalam keadaan ia butuhkan.
Fikih sangat terbuka dengan solusi ini. Namun, di antara kita sering kali lebih suka mempersulit dan memperburuk keadaaan.
Kita tidak lagi menjadi orang yang mampu bersikap rahmah lil ‘alamin dan berakhlak mulia kepada perempuan. Padahal inilah visi dan misi Islam. Prinsip syariat Islam sendiri, seperti kata Nabi Saw. mempermudah bukan mempersulit.
Dari Anas bin Malik r.a., berkata: Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Permudahlah (urusan orang, termasuk dalam hal agama) dan jangan mempersulit, bahagiakanlah dan jangan membuat orang lain ketakutan”. (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Adab, no. 6193). []