Menemu-kenali predator, anggap seperti Covid-19
Predator seringkali adalah teman terdekat, ia aktor
Kita tandai
Memulainya dari dimensi kultural
Membuatkan tanda kelas
Membangun relasi kuasa baru, yang profetik
Sebagai kompetitor dari kuasa yang dzalim
Penyangkalan bisa dengan perspektif baru
Proses liberasi, transendensi
Exercise of power
Menjadi ruang kita
Puisi di atas adalah sepenggal dari keseluruhan materi yang disampaikan oleh Mochammad Sodik, salah satu narasumber dari webinar yang sempat saya ikuti beberapa waktu lalu. Webinar yang diadakan oleh Kohati Cabang Yogyakarta dengan tema yang diangkat “Salah Kaprah Kekerasan Seksual di Masyarakat”.
Dalam webinar tersebut, ada tiga narasumber yang diundang, yakni Inayah Rohmaniyah selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Alimatul Qibtiyah yang merupakan Guru Besar Kajian Gender di UIN Sunan Kalijaga sekaligus Komisioner Komnas Perempuan, dan Mochammad Sodik selaku Dekan FISHUM UIN Sunan Kalijaga. Webinar yang diselenggarakan pada 13 September 2020 tersebut berhasil membuat saya menyadari betapa selama ini konsep kekerasan seksual memang salah kaprah di masyarakat kita.
Dari pemaparan yang disampaikan oleh Alimatul Qibtiyah, setidaknya ada beberapa hal yang salah kaprah, mengenai kekerasan yang dialami perempuan dalam pandangan masyarakat. Pertama, ketika ada kasus pelecehan terhadap perempuan, yang pertama kali disalahkan pasti perempuan.
Hal ini biasanya dikarenakan pakaian yang dikenakan perempuan, dikaitkan dengan perempuan yang berjalan di tempat sepi, perempuan keluar rumah malam hari, dan sebagainya. Aktor yang melakukan pelecehan dianggap tidak bersalah karena ‘hanya’ terpancing melakukan tindakan pelecehan terhadap perempuan.
Kedua, apa yang menimpa perempuan dianggap sebagai aib dan merupakan masalah pribadi, sehingga konsekuensinya memaksa perempuan tidak melaporkan kekerasan seksual yang dialami, karena merasa orang lain tidak bisa campur tangan. Hal ini biasa terjadi pada kasus kekerasan yang dilakukan suami kepada istri atau anaknya. Di sini tetangga enggan menolong karena mengangap itu urusan pribadi dalam rumah tangga.
Ketiga, ada kesalahpahaman persepsi. Misalnya masyarakat membenarkan persepsi bahwa ‘korban juga menikmati’, seolah-olah perempuan nyaman ketika diperkosa atau dilecehkan. Padahal dijelaskan bahwa ketika pemerkosaan terjadi, ada relasi kuasa yang membuat perempuan tidak berdaya.
Keempat, ada anggapan seolah-olah kekerasan seksual hanya masalah seksualitas saja. Padahal di dalam kasus kekerasan seksual juga ada permasalahan terkait ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Kelima, di masyarakat masih ada anggapan bahwa perempuan layak dilecehkan. Hal ini karena di masyarakat tradisional yang notabene patriarkis, masih masyhur dengan ‘harta, tahta, wanita’.
Keenam, diamnya perempuan masih dianggap sebagai simbol persetujuan. Padahal menurut Alimatul Qibtiyah, tidak bicaranya perempuan ini karena banyak faktor, terutama karena ada banyak relasi kuasa di dalamnya, seperti halnya ketidaksetaraan gender, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Inayah Rohmaniyah, jika dilihat dalam konteks saat ini, kekerasan seksual sama mengerikannya dengan Covid-19. Hal ini karena kekerasan seksual seringkali terjadi di sekitar kita, bahkan pada diri kita sendiri, tapi kita gagal mengetahuinya dan kita tidak bisa begitu saja menolaknya. Ditambah lagi di masyarakat, standar aturan masih bertumpu pada laki-laki, sehingga ketika ada persoalan yang terjadi atau menimpa perempuan, justru perempuan yang dijadikan pelaku, bukan korban.
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Sementara saat ini kita tahu bahwa Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) justru dikeluarkan dalam prolegnas 2020. Memang sampai saat ini polemik juga masih terjadi dalam pembahasan RUU-PKS. Kekeliruan kerap terjadi dalam pemahaman terhadap RUU-PKS, beberapa di antaranya karena ada pihak yang menganggap rumusan norma dalam RUU ini melegalisasi perbuatan zina. Padahal jika membaca draft RUU-PKS dari awal sampai selesai, tidak akan ditemukan sama sekali pelegalan yang diisukan tersebut.
Salah kaprah yang lain adalah, seolah-olah dalam rancangan ini akan memidanakan mereka yang melakukan perkawinan poligami. Padahal jelas diterangkan dalam draft RUU tersebut, bahwa yang dilarang adalah ketika perkawinan yang dilakukan penuh dengan bujuk rayu dan kebohongan, pemaksaan, dan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai perkawinan dalam islam.
Selain itu, ada anggapan bahwa RUU yang tujuan utamanya adalah menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, justru melegalkan aspek-aspek yang dilarang dalam Islam. padahal di dalam RUU ini justru mengatur pemberlakukan hukum bagi mereka yang memaksakan aborsi, mengatur terkait orang-orang yang menjadi pengguna dan memaksa perempuan menjadi pelacur, serta terkait perbudakan seksual.
Kembali lagi pada pertanyaan, apa yang bisa kita lakukan? Ada beberapa upaya yang diuraikan oleh Inayah dan Mochammad Sodik terkait upaya yang bisa kita lakukan. Pertama, belajar mengenali relasi kuasa yang ada di sekitar kita. Apakah kemudian relasi yang ada sudah adil gender, atau justru masih timpang? Kedua, berusaha memahami hak-hak perempuan dan laki-laki.
Pemahaman ini akan membantu kita dalam memaknai teks-teks keagamaan dan kebijakan yang ada, apakah secara sosial, hak-hak yang didapatkan oleh perempuan sudah setara dengan apa yang didapatkan laki-laki, atau masih berat sebelah, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini kita bisa menerapkan konsep mubadalah dalam menganalisis relasi antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, tradisikan berpikir kritis. Mentradisikan berpikir kritis baik bagi laki-laki maupun perempuan, sejauh ini masih menjadi hal yang sulit dilakukan, karena mayoritas masyarakat masih melanggengkan cara pikir yang misoginis-patriarkis. Keempat, berusaha untuk tidak diam terhadap segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi dan membuka seluas-luasnya jejaring untuk saling menguatkan antar perempuan, agar bisa mendapatkan keadilan yang hakiki. []