Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah pernikahan merupakan ruang untuk saling berelasi yang timbal balik antara suami dan istri.
Dengan relasi timbal balik, suami dan istri sama-sama memiliki komitmen dan tanggung jawab untuk mengimplementasikan prinsip relasi mu’asyarah bi al-mar’uf seperti yang diharapkan oleh Nabi Saw dalam hadis:
“Barang siapa yang diberi anugerah oleh Allah seorang istri salihah. Maka ia telah tertolong separuh tanggung jawabnya (melalui komitmen sang istri). Maka bertakwalah kepada Allah (agar ia juga memiliki komitmen) pada separuh (tanggung jawab) yang lain.?”
Teks Hadis di atas menegaskan jika pernikahan kita sebut sebagai komitmen untuk menerapkan prinsip saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf) dan akhlak mulia (makarim akhlaq).
Maka keberadaan istri salihah baru separuhnya saja separuh yang lain untuk menyatukan komitmen dan tanggung jawab ini ada dari pihak suami yang saleh.
Dengan adanya komitmen dari suami saleh dan istri salihah ini. Maka komitmen dan tanggung jawab beragama dalam pernikahan telah menjadi sempurna.
Menikah adalah sarana bagi seseorang untuk melakukan kebaikan, tetapi juga bisa berubah menjadi sarana melakukan keburukan.
Di dalam fikih, hukum menikah bisa haram jika tujuannya melakukan keburukan. Karena menikah adalah sarana. Maka ia tidak bisa kita sejajarkan dengan praktik ibadah agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Menikah bisa kita sebut sebagai ibadah, jika kita maknai sebagai sarana yang kondusif bagi suami atau istri untuk melakukan hal-hal baik yang agama perintahkan.
Oleh karenanya, menikah tidak bisa kita sebut sebagai separuh agama dalam arti ibadah ritual sebagaimana shalat dan puasa.
Sebab, maksud din dalam teks Hadis adalah komitmen, tanggung jawab, dan amanah untuk mu’asyarah bi al-ma’ruf dengan pasangannya. []