Mubadalah.id– Peran perempuan dalam fakta sejarah Indonesia tidak berbanding lurus dan jujur dengan penulisan sejarahnya. Peran perempuan ini tidak semakin terlihat dengan adanya kemunduran atau degradasi dari perempuan itu sendiri. Maka mengambil spirit dari peran perempuan di masa lalu adalahmutlak dilakukan oleh para perempuan hari ini.
Peran Perempuan dalam Sejarah
Fakta sejarah menunjukan bahwa posisi dan peran perempuan berada pada posisi dan peran yang setara dengan laki-laki. Hal ini bisa ditunjukan dalam sistem pemerintahan klasik di Indonesia khususnya pada masa kerajaan. Seperti halnya Ratu Sima, Tribhuwanatunggadewi, Suhita dan Ratu Kalinyamat. Lalu di tanah Aceh dan di daerah Sulawesi Selatan tahta kerajaan pernah diduduki oleh seorang perempuan.
Bahkan desa-desa di Ambon, perempuan bisa memimpin dengan dibantu oleh dewan desa. Hal yang sama juga terlihat di pulau Bali, bahwa perempuan mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari kerajaan. Adapun di Kalimantan, perempuan juga diberi akses, ruang dan menyatakan kesanggupannya dalam memimpin.
Teori Cora Vreedede Stuers & Marginalisasi Penulisan Peran Perempuan dalam Sejarah
Cora Vreedede Stuers pernah menyebutkan bahwa beberapa peristiwa mengenai peran perempuan dalam menjalankan peranannya dalam pemerintahan menunjukan kedudukan dan perannya dalam kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang selamanya akan berada pada posisi yang tinggi. Oleh karena itu, Cora Vreedede Stuers menegaskan bahwa peran perempuan selalu mempunyai kesempatan untuk memimpin.
Namun, narasi-narasi sejarah yang tertuliskan seringkali meminggirkan peran perempuan di masa lalu. Padahal narasi sejarah mengenai kiprah perempuan adalah sesuatu yang urgen untuk menjadi inspirasi bagi para perempuan hari ini. Karena membaca sejarah bertujuan sebagai sumber inspirasi dalam menentukan langkah kedepan. Lagi-lagi marginalisasi terhadap perempuan terjadi juga dalam penulisan karya sejarah.
Perempuan dalam Budaya Sunda
Peran perempuan Sunda merupakan salah satu dari beberapa potongan cerita rakyat dan tradisi lisan yang telah menjadi kebenaran psikologis di benak masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda sendiri mengenal ratu atau ambu, terbukti dengan cerita bersajak Lutung Kasarung yang menyertakan tokoh perempuan yaitu Sunan Ambu atau Batari yang memegang kekuasaan di Kahyangan.
Sunan Ambu atau Batari kemudian menanamkan ilmu pengelolaan alam kepada masyarakat Sunda, khususnya ilmu bercocok tanam.
Semangat peran penting dari perempuan dalam cerita rakyat masyarakat Sunda ini, kemudian harus menjadi refleksi dan motivasi karena perempuan sangat penting dalam membentuk tradisi intelektualisme dan kontrol sosial.
Sebuah Degradasi
Namun, dalam perkembangan dan fakta berikutnya, yang terjadi adalah degradasi dan kemunduran dari posisi dan peran perempuan dalam masyarakat. Hal ini muncul karena beberapa hal. Misalnya budaya feodalisme yang berkembang secara massif ketika masa kerajaan Mataram yang menempatkan posisi perempuan sebagai perwujudan lambang status suaminya.
Lalu adanya pergeseran tempat perempuan dari kedudukan sebagai subjek menjadi objek. Selain itu, datangnya agama Islam dengan pandangan Arab tentang perempuan. Di mana mereka menganggap bahwa perempuan itu lebih rendah dari laki-laki.
Pergeseran cara pandang, yakni dengan menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki ini, kemudian juga berimplikasi terhadap tradisi, adat dan budaya masyarakat. Contohnya perkawinan anak yang mengakibatkan perceraian.
Adat dalam budaya masyarakat tersebut kemudian melahirkan sistem, misalnya sistem perkawinan anak yang menjadi faktor merosotnya kedudukan seorang perempuan dan mengarah pada sistem pergundikan.
Perempuan menjadi Korban Sistem
Perkawinan anak adalah fenomena kawin gantung yang melibatkan anak gadis berusia 7 sampai 10 tahun dengan laki-laki berusia sekitar 14 tahunan. Hal yang mendorong terjadinya kawin gantung ini karena keinginan yang kuat untuk menambah jumlah keluarga dari pihak orang tua anak. Lalu karena kurangnya pengetahuan terhadap dampak buruk dari pernikahan anak usia dini atau fenomena kawin gantung tersebut.
Alasan lain juga terlihat dari orang tua gadis yang ingin cepat-cepat menginginkan menantu yang kuat bekerja di ladang atau sawah ataupun pasar sehingga akan meringankan tugas-tugas dari orang tua gadis tersebut.
Selain itu juga terdapat pandangan yang tidak wajar terhadap seseorang yang tidak menikah, sehingga adat dan cara pandang ini melahirkan fenomena pernikahan anak. Maka perkawinan seperti ini hanya berdasarkan keinginan orang tua semata.
Oleh karena pernikahan bukan berasal dari yang bersangkutan, yaitu pihak anak baik laki-laki maupun perempaun, maka akan rentan mengakibatkan perceraian.
Unsur paksaan ini mengakibatkan maraknya pernikahan yang tidak berdasarkan dengan saling mencinta, dan mencintai. Bahkan tanpa perkenalan dan persetujuan terlebih dahulu, terutama bagi perempuan.
Akibat dari fenomena inilah, lalu dengan adanya poligami, sistem selir dan gundik pada masa kerajaan di Indonesia, mudahnya perceraian dan ketergantungan perempuan mendorong perempuan ke arah tindakan prostitusi.
Prostitusi ini sudah terlihat menjelang pertengahan abad ke-19. Hal ini muncul karena adanya pergaulan bebas atau campuran dengan orang-orang asing. Prostitusi sendiri adalah titik terendah dalam kemunduran seorang perempuan, hal inipun juga berlaku pada seorang laki-laki.
Mengambil Spirit Peran Perempuan Melalui Sejarah
Fakta sejarah menunjukan bahwa dulu posisi dan peran perempuan berada pada level dan kedudukan yang setara dengan kaum laki-laki. Namun sejak datangnya kaum penjajah ke Indonesia, menjadikan posisi perempuan termarginalkan. Adanya budaya patriarki menambah parah kenyataan tersebut.
Ternyata dengan adanya budaya patriarki ini mengakibatkan penulisan narasi sejarah yang tidak memihak kepada peran perempuan di masa lalu. Narasi sejarah banyak menuliskan orang besar sebagai pemenang, dalam hal ini adalah laki-laki yang kita anggap memiliki otoritas dalam menentukan arah kemajuan dan perkembangan sejarah.
Oleh karena itu, peran perempuan dalam sejarah Indonesia ini kemudian berimplikasi pada penulisan-penulisan sejarah yang mengenyampingkan peranan perempuan itu sendiri. Hal ini sebab ada anggapan bahwa peran perempuan dalam sejarah tidak penting untuk kita tuliskan.
Maka, peran perempuan yang dalam fakta sejarahnya sudah menunjukan eksistensi positif harus terus kita suarakan. Di mana yang paling penting adalah mengambil spirit dari fakta sejarah tersebut yang harus perempuan hari ini lakukan. Bukan hanya oleh perempuan, tapi juga oleh laki-laki yang mendukung peran perempuan.
Tambahan lagi, bahwa visi perempuan bisa memimpin harus terwujudkan dengan memberikan akses dan menggunakan berbagai kesempatan di ruang publik yang tersedia secara lebih luas. Sehingga fenomena kemerosotan dan kemunduran perempuan bisa kita hilangkan secara bertahap, dan terkikis habis dengan berbagai prestasi perempuan di hari ini. []