Membahas masalah yang berkaitan dengan perempuan memanglah sangat banyak dan menarik, apalagi jika berkaitan dengan peran perempuan di ruang publik maupun di ruang domestik. Topik mengenai perempuan menjadi sangat hangat dan viral setelah Presiden Jokowi menunjuk sembilan perempuan sebagai panitia seleksi (pansel) komisaris yang terdiri atas ahli-ahli hukum, psikologi, sosiologi, tata kelola pemerintahan, dan manajemen organisasi, yang banyak dikomentari media masa.
Pengangkatan pansel oleh Presiden Jokowi, setidaknya menggambarkan bahwasanya para perempuan tidak hanya berperan di ruang domestik, tetapi juga bisa berpartisipasi dalam ruang publik. Ini menjadi prestasi dan terobosan yang sangat luar biasa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Tak hanya itu, pengangkatan ini juga memberikan angin segar bagi para perempuan-perempuan untuk bisa berpartisipasi untuk bangsa dan negara di ruang publik.
Kendati demikian, bila kita melihat ke belakang dan menyaksikan sejarah pra-kolonial Jawa dengan pengaruh polinesia asli yang sangat kuat, kita akan mendapatkan banyak petunjuk bahwa sebelum era Hindia Belanda (1818-1942), yang merupakan high colonial period atau zaman kolonial sesungguhnya, perempuan Jawa pernah mengambil peran cukup signifikan dalam urusan domestik dan juga publik.
Ada beberapa perempuan pada zaman pra-kolonial yang menyumbangakan perannya baik itu di ruang domestik ataupun di ruang publik, yang hal itu sangat berimbas untuk keberlangsungan masa depan keluarga, kerajaan maupun bangsa dan negaranya. Catatan itu bisa kita lihat dalam buku “Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX” antara lain :
Perempuan sebagai Pengusaha dan Pewaris, yaitu Ratu Kencono Wulan, merupakan permaisuri ketiga dari Sultan Kedua. Beliau berasal dari keluarga lapis bawah, berdagang di Pasar Beringharjo dan menjelma menjadi seorang “First Lady” yang luar biasa dan memanfaatkan posisi untuk meminta bagian dari keuntungan setiap proyek, yang tindakan ini mirip dengan Ibu Tien Soeharto dari abad ke-18. Sultan kedua, kerena sangat menyukai permaisuri, semua keingiannya dipenuhi oleh sultan dan menurut babad, gedung simpanan barang barang berharga dan tempat harta karun di keraton melimpah dengan emas, perak, dan berlian. Perempuan lainnya yaitu Prajurit Estri, beliau kaya raya berkat keuntungan dari hasil perdagangan berlian dan emas yang dilakukan antara Yogyakarta, Kotagede, Surakarta, dan pesisir utara.
Perempuan sebagai Pejuang Negara Garda Depan, adalah Raden Ayu Yudokusumo. Beliau merupakan putri Sultan pertama yang menikah dengan Bupati Yogya bagian timur. Raden Ayu itu konon menolak meninggalkan kabupatennya tanpa perintah langsung dari Sultan ketiga. Beliau dengan gigih mempertahankan tempatnya dari perwira tentara Inggris. Tak hanya itu, Raden Ayu juga menjadi satu dari beberapa panglima kaveleri senior Diponegoro di mancanegara timur yang kelak bergabung dengan Raden Temenggung Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi dalam perlawanan terhadap Belanda di pesisir utara dari 28 November 1827 sampai 9 Maret 1828. Tindakan Raden Ayu menggarisbawahi bukan hanya laki-laki saja yang bisa ikut berjuang dan berperang, tetapi perempuan pun bisa ikut terlibat. Tindakan Raden Ayu tersebut dalam Babad Jatuhnya Yogyakarta, di katakan “Ia seorang perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar, dan sisat jitu selayaknya lak-laki”.
Perempuan sebagai Pemelihara Pertalian Wangsa, ini bertujuan untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja dan keluarga terkemuka kerajaan, dengan mengikat istana dalam suatu jaringan intim dengan dunia pedesaan jawa melalui ikatan kekeluargaan yang luas. Kegiatan ini bisa terlihat dari banyaknya anak perempuan Raja yang kemudian dinikahnkan dengan keluarga ningrat/kerajaan dari kerajaan lain. Ini bisa kita temui dari beberapa putri ketiga sultan (HB I, HB II, HB III) Yogyakarta yang secara resmi menjadi pasangan Bupati dari wilayah timur yang jauh. Yang membuat jaringan dari keluarga istana menjadi luas dan terjaga.
Perempuan sebagai Penghubung Istana dan Dunia Pedesaan, peran ini bisa kita lihat dari putri Bupati pesisir utara yang menjadi pasangan para bangsawan keraton Jawa Tengah selatan akhir abad 18 meskipun kebanyakan garwa padmi raja dan istri resmi bangsawan lainnya berasal dari kalangan ningrat, para garwa ampeyan kelas utama maupun kelas dua, keduanya memiliki jaringan keluarga di dunia pedesaan. Ungkapan itu juga di dukung oleh pidato KGPAA Mangkunegoro VII dalam peresmian Volksraad (Majelis Rakyat: Parlemen Hindia Belanda) pada 18 Mei 1918 yang isinya:
“Satu hal yang terlalu gampang dilupakan oleh kita adalah bahwa selama berabad-abad kaum bangsawan Jawa mempunyai ikatan darah yang erat dengan rakyat kebanyakan. Dari zaman dahulu hingga sekarang, tidak ada satu pun orang Jawa kelahiran ningrat yang bisa membanggakan diri mempunyai darah biru yang murni.”
Ungkapan itu juga di dukung dari kebanyakan pasangan raja-raja, prajurit estri dan selir berasal dari keluarga kyai (keluarga lokal baik-baik/guru agama) seperti ibunda Pangeran Mangkubumi, Mas Ayu Tejowati yang merupakan putri Ki Cibcakak, kyai kondang dari Desa Kepundung wilayah Pajang. Sama halnya juga dengan garwa padmi Sultan Mangkubumi, Ratu Kadipaten (ibu angkat Diponegoro), Raden Ayu Mangkorowati (ibunda Diponegoro) yang keduanya merupakan putri dari seorang kyai.
Dampak dari koneksi tersebut pada budaya keraton akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 tidak bisa diremehkan. Perempuan-perempuan itu membawa ke keraton nilai-nilai dunia petani Jawa, dengan demikian koneksi itu membantu mempertahankan setidaknya sampai akhir perang Jawa, jaringan tersebut amat penting menjembatani antara dunia keraton dan pedesaan. Hal itu juga ketika perang Jawa berlangung, banyak para punggawa kerajaan yang mengatur siasat dan melakukan gerilya dari koneksi yang ada di lingkungan pedesaan.
Perempuan sebagai Penjaga Tradisi Jawa, Pembimbing Anak, ini bisa kita lihat pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dimana perempuan memiliki pengaruh paling besar. Dari masa bayi sampai pubertas, anak keturunan kerajaan dibesarkan dekat dengan ibu biologis atau ibu angkat mereka di Keputren. Salah satunya Pangeran Diponegoro kecil yang dititipkan dan dibesarkan oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng di Keputren dan kemudian pindah di Tegalrejo. Kemudian Pangeran Mangkubumi yang dititipkan ke Ratu Bendoro (Bibi), Pangeran Panular yang dititipkan ke keluarga Sultan Mangkubumi, Raden Ayu Sekartaji yang dititipkan ke keluarga Raden Mas Said.
Perempuan sebagai Penjunjung Agama, ini bisa kita lihat pada sosok Ratu Kedaton. Seorang perempuan dengan komitmen keagamaan yang sangat kuat. Dia sampai mewariskan tanah sebagai kurban untuk memberkati seluruh pusat ulama ahli Fiqih Islam guna memberikan saran kepada Penghulu Yogya mengenai hal yang berkaitan dengan hukum Naqli. Tak hanya itu, beliau juga memberi setiap santri keraton yang naik haji 10 reyal sebagai uang jalan, dan 5 reyal untuk selametan seribu hari Ratu Ageng Tegalrejo yang wafat pada 17 Oktober 1803. Selametan tersebut dilakukan saat hari Arafah.
Itu beberapa peran Perempuan Jawa abad 18 dan 19 M, baik dalam ruang domestik maupun dalam ruang publik yang bisa saya tuliskan. Banyak sekali peran-peran beliau yang bisa kita jadikan contoh untuk menjadi sosok inspiratif dan teladan baik dalam kehidupan ini. Semoga bermanfaat. []