Mubadalah.id – Pada saat posisi Qasim Amin sebagai hakim dan tokoh masyarakat, tampaknya Qasim Amin lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan.
Qasim Amin juga merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial.
Hanya saja, syarat utama suatu teori sosial adalah teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi.
Jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu. Maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain. Karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan.
Dengan kata lain, teori-teori sosial tersebut, termasuk di dalamnya norma-norma agama, tidak boleh absolut, statis, dan otoriter.
Norma-norma agama yang bersifat tekstual, menurut Qasim Amin harus dicari celah-celah kontekstualnya.
Misalnya, kewajiban hijab bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks Al-Qur’an, bukanlah semata-mata syari’at agama Islam. Namun bagi Qasim, hijab lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno.
Nah, dalam Islam, teori hijab ini menjadi syari’at karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu.
Jika kondisi berubah, maka tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Artinya, jika hijab sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial. Maka kita bisa menggantinya dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini.
Kondisi Ekonomi Masyarakat
Qasim Amin juga memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat.
Baginya, kondisi ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat. Lebih jauh lagi, ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat daripada faktor-faktor lain, seperti pendidikan, agama, dan budaya.
Dari kondisi ekonomi, kita bisa melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan, misalnya dalam permasalahan yang lebih sempit, yaitu poligami.
Komunitas masyarakat pada tataran ekonominya yang menengah ke atas, akan lebih termotivasi melakukan poligami. Realitas ini terjadi pada masyarakat Mesir.
Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya lemah, akan mengurangi kemungkinan menjamurnya tradisi poligami.
Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar.
Premis ini benar, sebab masyarakat dengan pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder.
Masalahnya adalah premis ini tidak selamanya dapat pembenaran, karena faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu konstruksi sosial masyarakat.
Di samping ekonomi, masih banyak terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat, dan budaya.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.