Mubadalah.id – Perbedaan adalah niscaya dan tidak bisa dinegasikan. Karena itu, dalam perspektif mubadalah, perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetap diakui, bahkan diapresiasi. Justru perbedaan-perbedaan ini untuk saling melengkapi.
Tetapi, perspektif mubadalah menegaskan prinsip kesederajatan (musawah). Yaitu, kesamaan posisi kemanusian laki-laki dan perempuan di mata Allah Swt, al-Qur’an, Hadits, dan ajaran-ajaran dasar Islam.
Kesamaan posisi ini harusnya memiliki implikasi pada kesamaan derajat perempuan dan laki-laki secara sosial dan politik di ranah domestik keluarga maupun publik sosial kemasyarakatan. Tentu saja di antara keduanya ada perbedaan biologis dan genetik yang juga berimplikasi pada konstruksi perbedaan-perbedaan sosial tertentu.
Bahkan, pada masing-masing individu, di antara laki-laki dan di antara perempuan, ada perbedaan-perbedaan yang harus dipahami dan diakui. Tetapi perbedaan-perbedaan ini bukan untuk pembedaan dan diskriminasi yang bersifat esensialis terkait derajat spiritual dan sosial.
Di mana yang satu dianggap lebih mulia secara jenis kelamin dari yang lain. Yang satu jenis kelamin dianggap lebih berhak atas sesuatu dari yang lain. Yang satu dianggap terlepas dari tanggung-jawab tertentu sementara yang lain tidak.
Memaksimalkan Layanan dan Kebaikan
Hal ini merupakan pembedaan dan diskriminasi yang tidak Islam benarkan. Tetapi jika pembedaan layanan dan perlakuan tertentu, berdasarkan pada kondisi nyata di lapangan, kebutuhan biologis atau sosial seseorang, tidak atas dasar jenis kelamin, dan tidak juga untuk memuliakan dan menistakan. Maka pembedaan ini adalah wajar dan bahkan baik untuk memaksimalkan layanan dan kebaikan.
Model berpikir kebanyakan laki-laki, baik akibat genetik biologis maupun konstruksi sosial, bisa jadi berbeda dari model berpikir kebanyakan perempuan dalam memahami dan mengelola kehidupan Ini tidak berarti yang satu lebih baik dari yang lain. Yang satu harus kita apresiasi dan dukung, yang lain ia nistakan. Tidak, melainkan keduanya harus kita hidupkan dan apresiasi untuk saling melengkapi satu sama lain.
Kehidupan ini terlalu kompleks dan tidak mungkin hanya bisa kita dekati dengan salah satu model berpikir semata. Kedua model berpikir ini juga sebaiknya kita kenalkan kepada laki-laki dan perempuan. Karena dalam kehidupan yang nyata, kedua hal ini mereka perlukan. Setiap orang tentu saja memiliki kapasitas dan kemampuan yang berbeda-beda.
Dalam Islam, seseorang hanya dengan memiliki jenis kelamin saja tidak bernilai apapun. Bahkan dengan memiliki kapasitas saja, laki-laki atau perempuan, juga belum dinilai dan diapresiasi. Sejauhmana ia gunakan kapasitas itu, untuk kebaikan atau keburukan, mendatangkan kebaikan atau keburukan, barulah penilaian dimulai.
Yang beriman dan berbuat kebaikan, dengan kapasitas yang ia miliki, akan memperoleh kebaikan. Begitupun sebaliknya, yang berbuat keburukan akan mendapat keburukan. Inilah prinsip mubadalah.
Secara Biologis
Sejak kelahiran, secara biologis genetik tentu saja berbeda antara laki-laki dan perempuan. Tetapi perbedaan biologis ini bukan untuk dibedakan secara derajat sosial. Islam hadir untuk menegaskan kesetaraan sosial perempuan dan laki-laki di mata Allah Swt dan di mata hukum.
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Arab pra-Islam membedakan derajat sosial laki-laki dan perempuan secara diskriminatif. Kelahiran bayi laki-laki misalnya mereka rayakan dengar gembira dan menyembelih kambing, dua-tiga, sebagai tanda syukur dan suka cita.
Sementara bayi perempuan sebaliknya disembunyikan, bahkan sebagian dikubur hidup-hidup. Tradisi inilah yang dilawan Islam. Bahwa bayi perempuan adalah manusia, sebagaimana laki-laki, yang harus dihormati, disyukuri, dan dijuga dirayakan. Nabi Saw memproklamasikan kepada masyarakat yang masih terimbas tradisi Jahiliyah bahwa yang melahirkan bayi perempuan akan didatangi malaikat, didoakan, dan didukung sepenuhnya.
Jika seseorang memiliki bayi perempuan, maka Allah Swt mengutus para malaikat untuk turun bertandang, seraya berkata: segala keberkahan untuk kalian sekeluarga. Para malaikat kemudian mendekapnya dengan sayap mereka (tanda suka cita) dan mengusapkan tangan mereka ke kepalanya (tanda kasih sayang).
Mereka mendoakan (bayi tersebut) yang masih lemah, yang lahir dari (seorang ibu) yang juga masih lemah. Siapapun yang bertanggungjawab (mengurus, membesarkan, dan mendidik) sang bayi tersebut, ia akan mendapat dukungan dan pertolongan (Allah dan para malaikat) sampai hari kiamat kelak. (Mu’jam Saghir Thabrani, juz 1, hal. 61, nomer: 70). []