Mubadalah.id – Kata ulama perempuan menurut hemat KUPI, bisa memiliki dua pemaknaan: biologis dan ideologis. Pemaknaan dari sisi biologis, menurut definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui.
Sedangkan secara ideologis, pemaknaan ”perempuan” bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial.
Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. ”Perempuan ulama” adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan. Baik yang memiliki perspektif keadilan gender maupun yang belum.
Sementara ”ulama perempuan” adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan, yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender.
Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan “ulama perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subjek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.
Perspektif KUPI
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas). Termasuk memiliki berkepribadian mulia (akhlaaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan kepada semesta (rahmatan lil ‘aalamiin).
Takut atau takwa kepada Allah SWT tidak hanya untuk urusan kemanusiaan secara umum tetapi juga dalam urusan perempuan secara khusus. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga.
Begitu pun berakhlak mulia, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki. Tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan.
Sehingga, tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan. Termasuk tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. []