Mubadalah.id – Istilah jilbab selalu menjadi perbincangan yang tak lekang oleh waktu. Tidak hanya karena jilbab kadangkalanya merepresentasikan identitas agamis tetapi juga menjalar sebagai bagian dari kontestasi sosial, gaya hidup, urban style, lambang kesolehan, kesopanan, dan perlawanan.
Di sisi lain, perbincangan jilbab telah melewati rentang waktu beberapa dekade lamanya, bergumul dengan persoalan yang paling ektrim sekalipun yakni perjumpaannya dengan prasangka-prasangka politik dalam laju catatan sejarah dunia.
Di Timur Tengah jilbab dipandang sebagai unsur dari rangkaian ideologis antara praktik dan lembaga yang membentuk jalinan kompleks atas jilbab-harem-pemingitan-poligami. Hal ini bermuara sebagai serangkaian fakta sejarah sejak ribuan tahun silam. Tersebar di peradaban Persia, Mesopotamia, Helenis, dan Bizantium melalui undang-undang Achaemenid, hukum Yunani, Parthian dan Sassanian tentunya melalui invansi yang sukses. Bahkan, tradisi jilbab menguat pada era Dinasti Umayyah.
Kata jilbab dalam pemaknaan terminologi sebagaimana yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki tiga makna. Jilbab dapat dipahami sebagai kain lebar yang digunakan perempuan muslim untuk menutupi kepala dan rambut termasuk telinga, leher, dan dada.
Dapat pula kita maknai sebagai baju lebar yang digunakan untuk menutup kepala hingga dada perempuan atau kain longgar yang menutupi seluruh tubuh. Termasuk kepala, rambut, dan telinga, kecuali tangan, kaki, dan wajah.
Ragam Makna
Sementara, dalam bahasa Arab (bahasa lisan dan tulisan digunakan oleh 250 juta orang dan bahasa agama satu setengah miliar orang yang berbeda) kata jilbab memiliki ragam yang bermacam-macam ditunjukkan pada perangkat pakaian perempuan yang bervariasi tergantung pada bagian tubuh, wilayah, dialek lokal dan momen historisitasnya.
Jilbab berasal dari kata kerja jalaba yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat melihat. Dalam pengertian selanjutnya, ia berkembang dalam masyarakat Islam menjadi pakaian yang menutupi tubuh seseorang. Sehingga bukan kulit tubuhnya tertutup melainkan juga lekuk dan bentuk tubuhnya tidak kelihatan.
Penelusuran atas teks al-Qur’an ayat jilbab agaknya tidak sama pada setiap faktor sosiologisnya ini kemudian mengakibatkan para ahli tafsir menggambarkan jilbab (pakaian) dengan cara yang berbeda-beda.
Adapun konsep jilbab dalam al-Qur’an dapat kita temukan dalam surat al-Ahzab ayat 59 dan an-Nur ayat 31. Kata Jilbab dalam surat al-Ahzab pada tafsir Al-Wajiz bermakna pakaian yang menutupi seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan.
Sementara dalam surat an-Nur menyiratkan perempuan untuk menutupi badannya yang dianggap menjadi perhiasan seorang perempuan khususnya kepala serta dadanya juga perhiasan batiniah termasuk desahan dan diperbolehkan untuk membiarkan yang lainnya terbuka sebab apa yang biasa nampak dari perempuan dan sulit untuk ditutupi seperti wajah, telapak tangan, dan rambut putih (uban).
Pandangan Ulama
Sayyid Saeed Akhtar Rizvi dalam bukunya hijab (The Dress of Modesty in Islam) memaknai jilbab sebagai jubah luar yang dikenakan di atas khimar. Adapun makna istilah jubah menurut Rizvi tidak terlalu berbeda dengan apa yang dimaksud Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Wajiznya ditunjukkan pada jubah terluar yang biasa dikenal sebagai abaya berwarna hitam dan bisa ditarik ke atas kepala untuk menutupi seluruh badannya dan meninggalkan sebagian kain yang nampak di bawahnya.
Adapun Quraish Shihab dalam bukunya berjudul jilbab memberikan pengertian bahwa jilbab adalah busana yang menutup seluruh tubuh perempuan kecuali wajah dan telapak tangan. Dalam penentuan batasan jilbab, Quraish Shihab tidak memberikan kesimpulan final batasan, bentuk, ataupun wajib tidaknya memakai jibab.
Sikap tawaqquf ini nenurutnya karena beragamnya ijtihad ulama klasik dan kontemporer baik memperbolehkan dan tidak memperbolehkan. Maupun usaha menentukan bentuk ideal dari jilbab masih perdebatan dengan beragam perbedaan batasan aurat.
Dan perbedaan ini justru memberikan alternatif bagi umat yang semuanya adalah kebenaran. Sehingga memudahkan umat melakukan beragam aktivitas pilihan yang telah agama benarkan. Dalam bahasa yang lebih sederhana kami memaknai sikap tersebut sebagai upaya untuk menghargai diskursus. Serta wacana hukum yang merupakan bagian dari pengetahuan. []