Mubadalah.id – Khitan perempuan sampai hari ini masih merupakan isu yang kontroversial, bukan hanya dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga di berbagai negara muslim lainnya.
Perdebatan mengenai isu khitan perempuan terjadi antara lain karena sumber-sumber Islam otoritatif baik al Qur’an maupun hadits Nabi tidak menyebutkan hukumnya secara eksplisit dan tegas. Dalam keadaan seperti ini para ahli fiqh, kemudian melakukan interpretasi sesuai dengan pengetahuan dan perspektifnya masing-masing.
Sepanjang pembacaan saya atas literature fiqh mengenai isu ini. Bahkan juga dalam banyak isu, perdebatan-perdebatan di antara para ahli fiqh lebih banyak berpusat pada teks. Mereka menganalisis dan menggunakan teks sebagai dasar untuk memutuskan segala hal.
Teks dalam tradisi masyarakat muslim menjadi siklus dan sentral bagi berbagai diskursus keagamaan dan sosial. Penelitian atas fakta-fakta empiris dan analisis medis atasnya jarang sekali dikemukakan.
Padahal penelitian empiris dan analisis medis dalam kasus yang menyangkut organ reproduksi ini menjadi sangat menentukan untuk mendasari suatu kebijakan dan keputusan hukumnya.
Imam al Syafi’i (w. 204 H), ahli fiqh besar, sesungguhnya sudah mengawali metode penelitian empiris tersebut untuk kasus-kasus reproduksi yang kita kenal dengan istilah Istiqra.
Akan tetapi para ahli fiqh sepakat bahwa khitan baik untuk laki-laki maupun perempuan merupakan tradisi yang telah berlangsung dalam masyarakat kuno untuk kurun waktu yang sangat panjang.
Sebelum Nabi Muhammad Saw lahir, tradisi ini berkembang di berbagai kebudayaan dunia. Khitan adalah “sunnah qadimah” (tradisi kuno). Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menginisiasi tradisi khitan ini.
Dalam banyak ajaran, Islam mengakomodasi tradisi sebelumnya. Tetapi dalam waktu yang sama ia juga mengajukan kritik, koreksi dan transformasi ke arah yang lebih baik. Jika praktik-praktiknya belum sejalan dengan misi dan visi Islam, yakni kemaslahatan dan kerahmatan semesta. []