Mubadalah.id – Artikel ini akan membahas tentang perempuan bekerja dalam tafsir Mubadalah. Pasalnya, Beberapa orang masih sering bertanya apa hukum perempuan bekerja dalam Islam. Biasanya, jawaban yang diberikan adalah boleh selama tidak menimbulkan fitnah.
Soal fitnah seringkali menjadi persyaratan bagi perempuan, tetapi tidak menjadi syarat bagi laki-laki. Dengan syarat ini, lalu seringkali perempuan disalahkan ketika memilih bekerja, baik untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, maupun orang lain. Padahal, bekerja adalah hak sekaligus karakter dasar dari setiap orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. Dari sini, bisa dirumuskan mengenai perempuan bekerja dalam tafsir mubadalah.
Perempuan Bekerja dalam al-Qur’an
Secara prinsip, memang bekerja merupakan hak setiap orang dalam Islam, laki-laki maupun perempuan. Hal ini, karena dalam al-Qur’an, kata yang bermakna bekerja, seperti ‘amala (عمل) adalah kata yang selalu disebut beriringan dengan kata amana (آمن) yang berarti beriman. Artinya, bekerja tidak hanya penting dalam Islam, tetapi merupakan perwujudan langsung dari keimanan terhadap Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. Tidak tanggung-tanggung, iring-iringan dua kata ini disebut lebih dari 56 tempat dalam al-Qur’an.
Ayat-ayat ini menyapa laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang utuh (mukallaf), hamba Allah Swt yang khalifah fi al-ardh, dan karena itu dituntut beramal shalih, serta berhak atas hasil dan dampak dari semua amal shalih tersebut. Ada 4 ayat (QS. Ali Imran, 3: 195; an-Nisa, 4: 124; an-Nahl, 16: 97; dan Ghafir, 40: 40), bahkan secara tegas dan eksplisit menyebutkan perempuan, untuk mengikis budaya diskriminatif yang meminggirkan perempuan dari ranah bekerja (‘amala).
Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan betapa penting konsep ‘amala, atau bekerja, sebagai salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ – ٩٧
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).
Tentu saja, kata ‘amala di sini berarti luas. Dalam al-Qur’an, kata ini selalu digandengkan dengan atribut shalihan, yang berarti kebaikan. Dalam bahasa Indonesia, sudah sering mengenal ungkapan “amal shalih”, yang berarti segala tindakan, perbuatan, dan pekerjaan yang bersifat baik dan melahirkan hasil serta dampak kebaikan bagi kehidupan.
Ia bisa berupa ibadah vertikal dan ritual, dimana hanya berkaitan relasi seseorang dengan Allah Swt, atau ibadah horizontal dan sosial, berkaitan relasi dengan manusia dan alam, atau bisa juga keduanya sekaligus: ibadah vertikal sekaligus horizontal. Ritual sekaligus sosial.
Bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, apalagi ditambah agar bisa membantu orang lain, adalah termasuk ibadah sosial, jika hanya bersifat horizontal tanpa ikatan vertikal dengan Allah Swt. Tetapi ketika diniatkan patuh dan tunduk kepada-Nya, ia bisa bernilai ibadah ritual-vertikal, di samping ibadah sosial-horizontal.
Kita tahu, al-Qur’an (QS. Al-Jum’ah, 62: 9-10) sendiri memanggil orang-orang yang beriman, sesudah beribadah shalat, untuk segera bertebaran di muka mencari rizki dari karunia Allah Swt yang amat luas. Di beberapa ayat lain, seperti (QS. Al-Mulk, 67, 15; Taha, 20: 53-54; dan Al-A’raf: 10), al-Qur’an juga bercerita bahwa Allah Swt telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta mereka untuk mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ayat-ayat ini, tentu saja tidak secara khusus menyapa laki-laki. Melainkan, sebagaimana ayat-ayat keimanan dan amal shalih yang lain, ayat-ayat yang sama juga menyapa para perempuan muslimah untuk aktif beramal dan bekerja mencari rizki dari anugerah Allah Swt. Sebagaimana menyapa para muslim laki-laki. Perempuan bekerja dalam tafsir mubadalah, karena itu, bagian dari perintah ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas.
Perempuan Bekerja dalam Hadits
Sebagai perwujudan dari keimanan, bekerja dan beramal shalih juga merupakan implementasi kita dari rasa syukur atas segala kenikmatan yang kita terima dari kehidupan ini. Nabi Muhammad Saw sendiri memandang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabian. Setiap pekerjaan, dalam bentuk apapun, yang membuatnya terhindar dari meminta pada orang lain, adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (صحيح البخاري، رقم: 2111).
Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (Sahih Bukhkari, no. hadits: 2111).
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ: مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جَلَدِهِ ونَشَاطِهِ مَا أَعْجَبَهُمْ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يَعِفُّها فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وتَفَاخُرًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ)). (المعجم الأوسط للطبراني، رقم الحديث: 6835).
Dar Ka’b bin ‘Ujrah berkata: Suatu saat ada seseorang yang lewat di hadapan Nabi Muhammad Saw, lalu para Sahabat melihat kekuatan dan kecekatanya yang mengagumkan mereka. “Ya Rasulallah, andai saja (semua kekuatan dan kecekatan) ini digunakan untuk jalan Allah”, kata mereka.
Lalu Nabi Saw menimpali mereka: “Jika dia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, maka dia sesungguhnya berada di jalan Allah, jika dia keluar untuk membantu kedua orang tuanya yang sudah renta, jika dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dirinya maka ia juga sedang berada di jalan Allah, tetapi jika dia keluar bekerja untuk sebuah mempertontonkan (kehebatan diri) dan kesombongan maka ia berada di jalan setan”. (al-Mu’jam al-Awsath Thabrani, no. hadits: 6835).[1]
Pokok persoalan dari ketiga teks hadits ini adalah soal bekerja, dalam bentuk apapun, selama halal, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Ketiga teks hadits ini, sebagaimana ayat-ayat di atas, dan hadits-hadits lain mengenai ‘amal shalih, adalah menyapa manusia, siapapun, laki-laki maupun perempuan. Perempuan bekerja dalam tafsir mubadalah, karena itu, bagian dari perintah teks-teks hadits tersebut di atas.
Tentu saja, praktik dari bekerja sebagai implementasi ‘amal shalih ini, tergantung pada konteks sosial tertentu, kapasitas dan kemampuan seseorang, serta pilihan-pilihan yang tersedia. Namun, menyisihkan seseorang, apalagi melarangnya hanya karena berjenis kelamin perempuan, adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran dasar al-Qur’an, maupun teladan Nabi Muhammad Saw dalam Hadits.
Demikianlah perempuan bekerja dalam tafsir mubadalah, baik dari al-Qur’an maupun Hadits. Di samping itu, perempuan bekerja juga merupakan implementasi dari visi Islam rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlaq karimah. Sehingga, alasan fitnah tidak bisa menjadi alasan. Karena fitnah bisa timbul dari laki-laki maupun perempuan. Jika alasan ini dijadikan syarat, maka harus keduanya bisa bersama-sama menjaga diri dari fitnah masing-masing, agar tidak menjadi pelaku maupun korban. Bukan dengan melarang dan menyalahkan perempuan semata. Wallahu a’lam. []
[1] Ath-Thabrani, Sulayman bin Ahmad al-Lakhmi, al-Mu’jam al-Awsath, ed. Thariq bin ‘Awadh, (Cairo: Dar al-Haramain, tanpa tahun), juz 7, hal. 56.