Mubadalah.id – Makin hari, makin sering terdengar kampanye seputar isu kesetaraan membuat makin banyak perempuan (juga laki-laki), makin sadar bahwa perempuan berharga, dan ia sejatinya berada dalam “kasta” yang sama dengan laki-laki. Selama ini, meski kita tahu bahwa perempuan itu manusia, tapi dalam persepsi dan pemaknaan alam bawah sadar masyarakat kita belum cukup memanusiakan perempuan.
Terlebih lagi, dengan membawa penjelasan agama yang sebatas penafsiran manusia belaka. Persepsi tentang perempuan yang kurang tepat pun anggapannya sudah benar tanpa kritik dan kita yakini begitu saja.
Manusia pernah berada dalam sejarah kelam yang sangat tidak berperikemanusiaan terhadap perempuan. Perempuan kita pertanyakan kemanusiaannya, bayi perempuan terbunuh setelah lahir. Ia terasingkan hanya karena mengalami menstruasi, Menjadi istri tanpa batas jumlahnya, tidak diberi hak waris, hingga perlakuan diskriminatif lainnya hanya karena menjadi perempuan.
Perempuan dianggap sebagai benda bahkan tidak berharga seperti laki-laki. Kaum laki-laki pun tidak mengalami pengalaman yang sama hanya karena mereka laki-laki.
Meski kita berada dalam zaman yang semakin modern dan maju peradabannya, ternyata pengalaman yang tidak adil serta perlakuan yang tidak berpihak pada perempuan masih jamak dan masih saja kita wajarkan di kehidupan masyarakat kita. Hari ini, perempuan masih kita kungkung dengan berbagai stigma dan label yang tidak menyenangkan, yang membuatnya menjadi sulit bertumbuh dan merdeka.
“Harga” Perempuan
Perempuan masih sering kita beri “harga” berdasar usia dan statusnya. Jika seorang perempuan lajang berusia 18-20 tahun, seolah ia memiliki “harga penuh”. Karena itu, perempuan seusia itu dianggap sangat “mahal” dan banyak diminati kaum laki-laki. Perempuan berusia 25 tahun dan kebetulan masih lajang, seolah dianggap sudah “turun harga”.
Perempuan lajang berusia mendekati 30 tahun semakin “turun harga” lagi di mata masyarakat. Hingga ia berusia lebih dari 30 tahun dan masih saja melajang, sudah dianggap “cuci gudang” dan tak lagi berharga di mata masyarakat, terutama laki-laki.
Apalagi perempuan yang menjanda, saya tak tega untuk menyebutnya sebagai “barang bekas”. Menyedihkan memang, tapi begitulah kira-kira gambaran bagaimana perempuan masyarakat kita persepsikan. Padahal, perempuan bukan barang dan tidak jualan. Tak pantas diberi label harga. Perempuan berharga di setiap kondisi, status dan usianya.
Coba saja, perempuan akan mudah kita gunjingkan hanya karena ia belum menikah. Meski ia perempuan mandiri, pekerja keras, berparas menarik, pintar, jika ia lajang, masih saja ada perkataan, “… tapi sayang, yah, dia belum menikah padahal udah berumur”. Seolah pencapaian dan dirinya yang berharga itu tidak valid hanya karena belum menikah. Padahal status pernikahan bukanlah tolok ukur keberhargaan seseorang.
Ketika Perempuan telah Menikah
Perempuan yang sudah menuruti keinginan masyarakat dengan menikah pun masih juga kita sodorkan pertanyaan lanjutan berupa pilihan apakah ia akan menjadi wanita karir atau menjadi ibu rumah tangga.
Jika perempuan memilih untuk menjadi ibu bekerja, masih saja kita persepsikan sebagai ibu yang kurang baik. Karena dianggap lebih mementingkan karir dan “meninggalkan” anak dan keluarga dengan segala tetek bengek urusan domestik rumah tangga. Jika pun istri kita perbolehkan untuk bekerja, masih saja ada penetapan syarat khusus “asalkan tidak meninggalkan kewajiban mengurus anak dan rumah tangga.”
Padahal untuk urusan rumah tangga dan pengasuhan, bukanlah kewajiban perempuan seorang. Pengasuhan adalah tugas setiap orang tua, dan orang tua bukan istri/perempuan (atau pun suami) saja. Begitu pun urusan domestik dan kerumahtanggaan, bukan menjadi kewajiban perempuan semata, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
Jika memilih menjadi ibu rumah tangga pun tetap saja diberi stigma yang kurang menyenangkan. Stigma “hanya ibu rumah tangga” atau ungkapan “sayang ijazahnya kalau hanya jadi ibu rumah tangga.” Membuat perempuan seolah kurang berharga dengan pilihannya. Kesibukan sehari-hari menjadi ibu rumah tangga pun masih kita pandang sebelah mata dan tak bernilai.
Aneh memang, seolah hidup perempuan adalah soal pilihan ganda, harus memilih salah satu, dan jawaban yang benar hanya satu. Anehnya lagi, pertanyaan semisal pilihan berkarir atau menjadi ibu rumah tangga tidak terlontarkan kepada laki-laki. Laki-laki tidak pernah kita beri pertanyaan pilihan, apakah akan menjadi ayah berkarir atau ayah rumah tangga. Padahal apa bedanya perempuan dan laki-laki? Mengapa harus kita beda-bedakan?
Budaya Patriarki
Nasib perempuan juga masih bergantung pada laki-laki melalui perizinan kepada suami dan keharusan untuk patuh dalam situasi apapun. Bahkan ada yang menganggap istri harus taat mutlak pada suami. Budaya patriarki yang kini masih tertancap kuat beserta dogma agama yang tidak perpihak pada perempuan menjadi rumus ampuh untuk semakin menyekap perempuan untuk menemukan keberhargaan dan kemerdekaannya sebagai manusia utuh.
Saya khawatir, sama seperti kaum terdahulu, kita masih saja tidak memandang perempuan sebagai manusia. Atau, sudah memandang perempuan sebagai manusia tapi bukan sebagai manusia utuh. Sehingga dianggap wajar jika kita bunuh keinginan-keinginannya. Kita bungkam pendapat-pendapatnya, dan kita bedakan perlakuannya. Hanya karena mereka perempuan, serta kita dikte dan tentukan nasib serta nilainya.
Padahal, laki-laki dan perempuan sama-sama manusia utuh yang memiliki hak-hak yang sama dalam berkehidupan. Hak untuk bekerja, berpendidikan, hak untuk menjadi bermanfaat di tengah-tengah masyarakat, hak berpendapat, hak membuat pilihan untuk kehidupannya sendiri, dan hak dasar dalam berkehidupan lainnya.
Setiap hidup manusia adalah berharga, baik laki-laki maupun perempuan. Setiap perempuan adalah berharga, apapun status dan kondisinya. Perempuan berhak memilih kapan ia menikah. Bahkan berhak memilih untuk menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak.
Perempuan berhak untuk berpendidikan setinggi mungkin bahkan ketika ia nantinya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga, bekerja atau bahkan berbisnis. Karena pendidikan adalah kebutuhan dan hak setiap manusia dan bukan semata hanya untuk laki-laki. Mereka tetap berharga apapun pilihannya.
Karena perempuan juga berharga, maka tidak sepantasnya kita dikte dengan suatu nilai tertentu dan keharusan untuk mengikuti nilai yang sama. Setiap perempuan bisa berpikir karena ia manusia, merenungi, dan menemukan pilihan yang paling tepat untuk kehidupannya sendiri. Setiap hidup perempuan berharga, sama seperti hidup laki-laki. Maka, sudah sepantasnya membiarkan mereka merdeka atas pilihan hidupnya tanpa label dan stigma. []