Mubadalah.id – Dalam Islam, bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga, atau membantu orang lain termasuk ibadah sosial. Namun, ketika diniatkan patuh dan tunduk kepada Allah Swt, ibadah sosial bisa bernilai ibadah ritual.
Al-Qur’an bercerita bahwa Allah Swt. telah menghamparkan berbagai sumber daya dan jalan bagi manusia, dan meminta manusia untuk mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (QS. al-Mulk (67): 15: QS. Thaha (20): 53-54, dan QS. al-A’raf (7): 10).
Nabi Muhammad Saw. memandang bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri tidak hanya baik, tetapi termasuk teladan kenabian yang patut umatnya lakukan.
Setiap pekerjaan—selama tidak melanggar aturan Allah—yang membuat seseorang terhindar dari meminta-minta pada orang lain adalah baik di mata Nabi Muhammad Saw.
Dari Miqdam r.a. dari Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak ada makanan terbaik yang dikonsumsi seseorang, kecuali yang dari hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s. selalu memakan dari hasil kerja tangannya sendiri.” (Shahih al-Bukhari, no. 2111 dan 2113).
Bahkan jika melalui bekerja itu, pendapatan istri menjadi jalan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang masih kecil, kedua orangtua yang sudah lanjut usia, atau untuk dirinya sendiri agar tidak hidup secara sosial terhina. Maka semua itu, kata Nabi Muhammad Saw. adalah perjuangan di jalan Allah Swt. (al-Mu’jam al-Ausath li al-Thabarani, no. 6835).
Subjek dari ayat-ayat dan Hadis-hadis di atas adalah setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk beriman dan bekerja untuk kebaikan.
Ketika, misalnya, seorang perempuan memiliki pendapatan lebih besar dari suaminya itu sama sekali tidak Islam larang. Pendapatan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang seseorang lakukan.
Ketika suatu pekerjaan itu baik dan Islam restui, maka pendapatan istri yang ia hasilkan adalah juga baik dan Islam restui.
Dalam kaidah fikih, restu atas sesuatu adalah restu atas yang ia hasilkan dari sesuatu tersebut. (al-ridha bi al-syai’ ridha bima yatawalladu minhu). []