Mubadalah.id – Pada masa Rasulullah, perempuan yang mencapai derajat ketakwaan yang tinggi juga tidak sedikit. Sejarah mencatat, yang pertama kali mati syahid adalah seorang perempuan bernama Sumayyah.
Demikian pula, yang pertama kali beriman kepada kenabian Muhammad juga seorang perempuan, yakni Khadijah binti Khuwailid, istri beliau.
Rasulullah juga tidak pernah ragu untuk menjadikan ummul mu’minin Aisyah sebagai penyambung lidah bagi kaum perempuan. Karena beliau mengakui kecerdasan dan keteguhannya dalam beragama.
Ketika Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar, bersembunyi di dalam Gua Tsur dari kejaran kafir Quraisy yang bernafsu membunuhnya, tampillah seorang Asma’ binti Abu Bakar yang berani mengantarkan makanan sampai ke mulut gua.
Dan ketika Rasulullah dilanda kebingungan karena menghadapi para sahabat yang enggan mengikuti perintah ber-tahallul (memotong rambut) dalam konteks peristiwa Umrah Hudaibiyah, ummul mu’minin Ummu Salamah tampil memberikan solusi jitu. Yakni meminta Nabi untuk ber-tahalul di depan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dengan demikian, perintah Rasul segera diikuti oleh para sahabat.
Demikianlah sekelumit cuplikan sejarah mengenai para perempuan yang mencapai derajat ketakwaan tinggi dalam agama Islam. Ini semua menjadi bukti bahwa Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia dari jenis kelaminnya. Melainkan dari kualitas pribadinya yang tersimpul dalam kata “takwa”.
Tauhid Menjadikan Manusia Bersaudara
Atas dasar keadilan dan kesetaraan, semua manusia bersaudara dalam tauhid. Sejarah mencatat, kehadiran Islam meruntuhkan fanatisme kesukuan masyarakat Arab yang membuat mereka terpecah belah dan saling menumpahkan darah.
Perseteruan antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung turun-temurun, misalnya, luluh dan lebur bersamaan dengan masuknya tauhid di dalam hati mereka. Tidak ada lagi perasaan lebih tinggi dan lebih mulia di antara mereka.
Jika pada masa lalu kemuliaan diukur dengan kemenangan dalam persaingan dan peperangan antar suku, tauhid telah mengubah pandangan tentang arti kemuliaan itu. Kemuliaan dalam tauhid adalah kemuliaan di mata Allah dan Rasul-Nya yang bisa tercapai dengan ketakwaan.
Oleh karena itu, persaingan yang mereka lakukan bukan lagi untuk meraih kemuliaan suku, melainkan untuk meraih predikat “paling bertakwa”.
Demikianlah, mereka dipersatukan dan dipersaudarakan oleh satu tali yang jauh lebih kuat daripada tali kesukuan yang pernah mereka pegang, yakni tali Allah. []