Mubadalah.id – Hak untuk menentukan maskawin, Islam berikan kepada perempuan yang hendak menikah. Dia boleh menentukan maskawin sesuai dengan keinginannya, tanpa ada batasan maksimum.
Maskawin dalam Islam diakui sebagai hak milik pribadi perempuan, baik dalam status sebagai istri maupun mantan istri. Al-Qur’an melarang tegas laki-laki mengutak-atik atau menyerobot hak ini:
وَاِنْ اَرَدْتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ زَوْجٍۙ وَّاٰتَيْتُمْ اِحْدٰىهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوْا مِنْهُ شَيْـًٔا ۗ اَتَأْخُذُوْنَهٗ بُهْتَانًا وَّاِثْمًا مُّبِيْنًا
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?.” (QS. an-Nisa’ (4): 20)
Hak prerogatif perempuan ini suatu saat pernah mengemuka sebagai bahan perdebatan. Itu terjadi ketika Khalifah Umar bin Khathab berpidato di depan publik agar kaum laki-laki tidak memberi maskawin lebih dari 500 dirham sebagaimana sudah menjadi kebiasaan para sahabat pada waktu itu.
Mendengar hal ini, seorang perempuan berdiri, memprotes dan menyebut ayat di atas, sambil mengingatkan agar Khalifah tidak membatasi hak yang tidak Allah Swt batasi.
Khalifah Umar segera meralat ucapannya, dan hak perempuan untuk menentukan maskawin tidak lagi beliau batasi. Ketika menjadi istri, hak perempuan juga beliau jamin. Pangan, sandang, dan papan adalah hak-hak primer yang dijamin.
Lebih dari itu, perempuan juga mendapatkan jaminan haknya untuk memperoleh perlakuan yang baik (ma’ruf), (QS. an-Nisa’ (4): 19).
Perempuan berhak tidak dipukul seperti keledai, tidak dilecehkan, tidak ditinggal begitu saja (hadits riwayat Bukhari, Muslim dan imam-imam yang lain), serta tidak dibiarkan terkatung-katung (QS. an-Nisa’ (4): 129). []