Mubadalah.id – Siapa sajakah perempuan pemberi nafkah masa Nabi? Terekam kuat di benak banyak orang kalau perempuan itu dinafkahi bukan menafkahi. Dilindungi bukan melindungi. Dijaga bukan menjaga. Dikawal bukan mengawal. Atas asumsi ini, mereka diminta taat, patuh, bahkan tunduk sepenuhnya pada yang menafkahi, melindungi, menjaga dan mengawal.
Dalam Islam, memberi nafkah bukan untuk memaksa. Melindungi bukan untuk menguasai.
Tahukah kita, bahwa pada masa Nabi Saw banyak perempuan yang justru memberi nafkah? Apakah menafkahi artinya menguasai dan dinafkahi berarti harus mentaati?
Setidaknya beberapa sumber hadis dan sejarah mencatat empat nama perempuan pemberi nafkah keluarga. Khadijah, Ritah, Zaynab, dan Umm Syuraik, Radhiallahu anhum. Bisa jadi ada nama-nama lain.
Semua tahu Siti Khadijah ra adalah saudagar kaya yang melamar Nabi Saw untuk menjadi suaminya. Memberikan seluruh hartanya untuk kebutuhan keluarga dan dakwah Islam. Menenangkan Nabi ketika galau saat pertama kali menerima Wahyu. Beriman saat banyak orang masih kafir. Mengajak dan mengawal Nabi saat pergi bertemu Pendeta Buhaira. Dan melindungi dari segala hinaan dan siksaan Quraish. Khadijah perempuan dan Nabi laki-laki.
Sahih Bukhari mencatat bahwa nama Zaenab ra yang memberi nafkah kepada suami dan anak-anak mereka (no. Hadis: 1489). Thabaqat Ibn Sa’d juga mencatat nama Ritah sebagai pemberi nafkah keluarga mereka. Ia bekerja di industri rumahan, kalo Zaenab ra tidak tercatat jenis pekerjaannya. Nabi Saw mengapresiasi kerja dan tanggung jawab mereka. Seperti biasa, itu dianggap sesuatu yang terpuji dan berhak atas pahala.
Umm Syuraik ra dicatat dalam Sahih Muslim sebagai perempuan dermawan (no. Hadis: 7573). Tidak hanya kepada keluarga, tetapi masyarakat luas. Rumahnya sering menjadi tempat penginapan tamu dan orang-orang yang tuna wisma. Ketika Fatimah bint Qays ra dicerai suami, ia ditampung di rumah Umm Syuraik ra.
Dalam Islam, memberi nafkah bukan untuk memaksa. Melindungi bukan untuk menguasai. Siapapun yang mampu melakukanya adalah menjadi tanggungjawabnya untuk memberi dan melindungi. Laki-laki maupun perempuan. Semua ini, dalam Islam, tidak boleh menjadi media penundukan apalagi pemaksaan dan penguasaan. Tetapi sebagai perwujudan dari kerjasama dalam memikul tanggung jawab dan saling tolong menolong.
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir