Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dalam buku Qiraah Mubadalah menegaskan bahwa larangan keluar rumah bagi perempuan saat masa ‘iddah dan ihdad, sebenarnya kurang tepat. Karena hal tersebut menurut Kang Faqih, tanpa makna yang relevan sama sekali terkait dengan relasi pasutri.
Sebab, keluar rumah adalah hak, terutama ketika ada kebutuhan yang mendesak, seperti pada kasus bibinya Jabir Ra yang dibolehkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk keluar rumah dan berbuat kebaikan sekalipun pada masa ‘iddah (Shahih Muslim, no. 3794).
Adapun yang dilarang itu ialah membuka kemungkinan kepada laki-laki lain yang bisa mengganggu proses rekonsiliasi, dan keluar rumah seringkali menjadi media untuk itu.
Ini persoalannya. Dan persoalan ini bersifat mubadalah. Laki-laki juga sebaiknya, tidak membuka kemungkinan pendekatan dengan perempuan lain, selama masa ‘iddah, agar lebih mudah juga jika hendak rekonsiliasi dengan sang istri.
Jabir bin Abdullah Ra berkata, “Bibiku dicerai dan keluar rumah hendak memetik kurma, lalu dilarang oleh seseorang untuk keluar rumah. Ia pun akhirnya mendatangi Nabi Muhammad Saw. dan mengadu. Lalu Nabi Muhammad Saw menjawab “Ya, boleh (keluar), petiklah kurma jtu karena kamu bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu).” (Shahih Muslim, no. 3794).
Semangat al-Qur’an ini memang melarang laki-laki dan keluarganya untuk mengeluarkan perempuan yang cerai dari rumah bersama (QS. ath-Thalaaq (65): 1).
Tujuannya, agar perempuan tetap memperoleh tempat perlindungan dan rumah tempat berteduh, sebelum menikah dengan yang lain, di samping karena untuk mempermudah proses rekonsiliasi jika hal itu ia butuhkan.
Fiqh ‘Iddah dan Ihdad
Jadi, fiqh ‘iddah dan ihdad, tidak sebaiknya kita konsepsikan untuk mengungkung perempuan dan membebaskan laki-laki. Tetapi, itu justru untuk memudahkan mereka bisa tetap rekonsiliasi ketika terjadi konflik, dengan pertimbangan khusus memberi perlindungan bagi perempuan.
Ini semua karena istri dan suami, satu sama lain, adalah pakaian bagi pasangannya, yang memberi kehormatan. Serta menjaga dari terik matahari, dari hujan badai, dan bahkan dari kotoran paling kecil sekalipun. Deskripsi pakaian adalah kiasan untuk saling menjaga perasaan.
Sehingga, jika ada jeda waktu perempuan butuhkan agar mudah kembali kepada sang suami. Maka hal yang sama juga laki-laki butuhkan. Begitu pun jeda waktu untuk berkabung setelah kematian salah satu pasangan.
Jikapun penetapan tidak menggunakan logika hukum fiqh, karena hal tersebut masuk pada wilayah ta’abbudi (unsur ritual, bukan sosial). Maka bisa menggunakan argumentasi moral keagamaan, dan tuntutan perasaan serta kebaikan umum berkeluarga dan bermasyarakat.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.