Mubadalah.id – Pernahkah kita ingin menyerah saja pada takdir kehidupan yang kadang terasa tak adil? Pernahkah kita merasa kesepian, meski sedang berada di tengah ramai? Pernahkah kita merasa sendirian, meski banyak lalu lalang orang di sekitar? Antara asa, dan perasaan tak berdaya, menjadi perempuan yang tak ingin menyerah pada takdir.
Di tengah situasi itu, aku sudah pernah mengalami semuanya. Dan aku tahu, banyak di antara teman-teman yang belum mampu lepas dari situasi tersebut. Karena itu, aku ingin berbagi pengalaman melalui tulisan ini.
Suatu hari sekitar tahun 2000-an awal, ketika kami mengalami kesulitan di tanah rantauan Jombang Jawa Timur, kakak keduaku telpon ke rumah. Memang, kami diajarkan oleh orang tua setiap kali ada masalah, kami komunikasikan dengan orang tua. Hal yang sama kini aku ajarkan juga ke anak-anakku.
Singkat kata, dalam percakapan di telpon itu, Ayahku memberi nasihat agar kami memperbanyak membaca surat Al-Insyirah setiap kali salat, atau kita jadikan sebagai wiridan selepas salat lima waktu. Jumlahnya, semampu kita saja, yang penting ajeg dan konsisten. Kalau kemampuannya hanya 3x, lakukan itu berulang sampai masalah yang kita anggap berat itu mampu teratasi.
Mengenal Surat Al-Insyirah
Melansir dari artikel yang Miftahudin tulis dalam Islami.co menjelaskan bahwa surat Al-Insyirah merupakan surat Makiyah akhir yang turun menjelang Nabi Muhammad hijrah ke Madinah. Pembahasan ayat ini terbagi dalam tiga bagian.
Kelompok pertama, atau pada ayat 1-4, membahas seputar beban hidup dan berbagai kesusahannya. Bagian kedua, ayat 5 dan 6 yang memuat tentang bagaimana pembanding antara kesusahan dan kemudahan. Dan yang ketiga, ayat 7 dan 8 memuat sikap yang diambil dalam menjalani kehidupan.
Prof. Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa surat al-Insyirah ini turun sebagai penenang bagi Nabi Muhammad. Ia gambarkan bahwa pada saat itu Nabi sedang memikul beban yang sangat berat, walaupun tidak secara tekstual Al-Qur’an menguraikan beban tersebut, Quraish Shihab dalam penafsirannya menganalisa beberapa beban yang sedang dipikul oleh Nabi.
Pertama, wafatnya istri beliau Sayyidah Khadijah dan paman beliau Abu Thalib. Kedua, beratnya wahyu Al-Qur’an yang beliau terima. Dan ketiga, kondisi masyarakat Arab Jahiliyyah di Mekkah yang menentang dan melakukan tipu-daya kepada dakwah Islam Nabi Muhammad.
Di antara ketiga hal tersebut, Prof. Quraish lebih condong kepada poin ketiga di mana Nabi merasakan beban psikologis akibat keadaan umat yang beliau yakini berada dalam jurang kebinasaan, dan Nabi Muhammad belum dapat menemukan solusi yang tepat untuk hal tersebut. Hal ini Quraish Shihab ungkapkan dalam penafsiran Q.S. Al-Insyirah ayat 1-4.
Keseimbangan Doa dan Usaha
Meski begitu, menurut Miftahudin, tafsir Prof Quraish cukup unik untuk kita tilik dalam melihat kedua ayat terakhir Surat Al-Insyirah ini. Prof Quraish mengungkapkan bahwa kedua ayat tersebut justru memberi anjuran kepada umat muslim untuk menyeimbangkan antara usaha yang sungguh-sungguh, dan berdoa kepada Sang Pencipta.
Ayat 7 Prof. Quraish maknai sebagai anjuran kepada umat muslim untuk selalu memiliki kesibukan, dan tidak menyia-nyiakan waktunya. Bila telah menyelesaikan suatu pekerjaan, maka harus melaksanakan pekerjaan lainnya yang belum selesai.
Sedangkan ayat 8 ia maknai sebagai doa kepada Allah sebagai pelengkap dan satu kesatuan dari usaha yang dilakukan pada ayat sebelumnya. Kedua ayat terakhir ini menjadi pertanda bahwa usaha harus kita dahulukan terlebih dahulu, setelah itu barulah mencurahkan harapan kepada Allah.
Usaha dan doa harus selalu menjadi pegangan manusia. Karena betapapun kuatnya potensi yang manusia miliki, akan selalu memiliki batas. Hanya harapan kepada Tuhan-lah yang dapat menjadikan manusia bertahan menghadapi dilema kehidupan yang kadang begitu pahit kita rasakan.
Hikmah, dan Problem Kehidupan
Melihat Q.S. Al-Insyirah ini dapat kita pahami beberapa poin penting. Di mana dalam kehidupan manusia pasti mengalami berbagai problem kehidupan. Namun juga perlu kita sadari bahwa bersamaan dengan datangnya kesulitan dalam hidup, pasti ada kemudahan yang selalu mengimbanginya. Yakni dengan cara menyelesaikan satu persatu permasalahan tersebut.
Seperti tali yang ikatannya rumit, tidak akan bisa kita lepas jika tidak kita urai satu persatu. Setelah melakukan usaha yang sebaik mungkin langkah berikutnya adalah berdoa kepada Sang Pemberi Kehidupan agar diberi kehidupan dan hasil yang lebih baik.
Sebab itu kita tidak boleh berkeluh kesah atas takdir yang kerap tak berpihak. Meski, sebagai perempuan rasanya tak ingin mudah begitu saja menyerah pada takdir. Karena itu kita harus percaya, bahwa Allah akan mengganti kesusahan itu dengan kesenangan, jika tidak hari ini, besok atau di kemudian hari.
Sebagaimana penjelasan dari hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari al-Hasan, sebagai berikut.
قَالَ اِبْنُ جَرِيْرِ : حَدَّثَنَا اِبْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرِ عَنْ مَعْمَرَ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ : خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا مَسْرُوْرًا فَرِحًا وَهُوَيَضْحَكُ وَهُوَ يَقُوْلُ : ” لَنْ يَغْلِبَ عُسْرِ يُسْرَيْنِ , لَنْ يَغْلِبَ عُسْرِ يُسْرَيْنِ. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.
“Nabi pernah keluar rumah pada suatu hari dalam keadaan senang dan gembira, dan beliau juga dalam keadaan tertawa seraya bersabda, “satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, satu kesulitan itu tidak akan pernah mengalahkan dua kemudahan, karena bersama kesulitan itu pasti terdapat kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu terdapat kemudahan.”
Bersama Kesulitan, Selalu Ada Kemudahan
Dalam hadis lain Rasulullah Saw bersabda:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَعْلَمْ أَنَّ فِيْ الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيْرًا وَ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . (أخرجه أحمد)
“Ketahuilah, sesungguhnya pada kesabaran terhadap apa yang engkau benci mempunyai kebaikan yang sangat banyak. Dan sesungguhnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (HR. Ahmad 5/19. No. 2803)
Begitulah akhirnya kehidupanku berjalan, hingga di usia akhir 30-an atau jelang 40 tahun ini. Tanpa terasa seperempat abad telah terlewati, dan aku telah mampu mengatasi rasa tak ingin menyerah pada takdir hingga berkali-kali, karena kekuatan surat Al-Insyirah. Hingga esok, surat ini akan terus menjadi pegangan, dan kekuatan di saat jiwa ini melemah dan rapuh.
Karena, hingga kini aku meyakini satu hal. Sebaik-baik pertolongan adalah datangnya dari Allah swt. Sang penggegam takdir kehidupan kita. Di mana padaNya kelak kita akan kembali, di suatu hari nanti. []