Mubadalah.id – Melingsirnya pandemi, menilaskan banyak pelajaran peradaban. Semakin tegas bahwa zaman telah berubah dari analog ke digital. Informasi meruyak telak, menjadikan banyak orang bisa merasa tahu, tanpa terbelit ular tangga waktu. Namun kerentanan manusia, ketakutan akan kematian masih sepurba zaman silam. Dan agama masih sama, ada untuk menjawab mau ke mana setelah mati.
Di tengah aliran itu, perilaku beragama, yang berarti segenap pemeluknya, enggan tak enggan menghadapi pengaruh kala-patra (waktu-momentum) perubahan tersebut. Pernah, para sosiolog, sebut misalnya August Comte, meramalkan agama bakal porak poranda oleh peradaban sains: rasionalitas sains dan spiritualitas iman berseberangan kutub. Namun, jika menyimak sejarah, agama selalu dapat merelevansi diri. Masyarakat dunia saat ini masih—secara ultra mayoritas—memeluk agama, terlebih di Indonesia.
Menilas fakta di atas, ketahanan agama yang semacam imortal—shalihun li kulli zaman wa makan atau selalu relevan di setiap ruang-waktu—terasa tak tertampik. Melalui tulisan ini, saya mengetengahkan dua bagian tak terpisah dari gerak agama di dalam gelaran kasunyatan yang serba tak mau statis. Pertama, tentang kondisi penghayatan umat beragama terhadap agamanya sendiri atau living religousity (menubuhkan nilai agama dalam luruh keseharian). Kedua tentang keniscayaan merenangi zaman dengan tetap berporos kesadaran spiritual.
Pesantren dan Perilaku Beragama
Nilai agama yang kita hayati menjadi suluh kesadaran bagi pemeluknya. Namun agama dalam maknanya sebagai ‘suluh kesadaran’, di era sekarang, terasa begitu samar, lirih dan redup. Saya pikir, meriungnya aneka seremoni keagamaan, tanpa kita sertai penghayatan personal, adalah bagian dari raut redup spiritualitas di zaman ini. Hal ini berbeda dengan pola keislaman pesantrenan.
Di pesantren, pengamalan dan penghayatan keagamaan berlangsung secara rutin dan mandiri. Salat berjama’ah dan mendaras Alquran adalah rutinitas utama selain sekolah. Selain praktik keagamaan (ritual), hampir saban hari berlangsung diskusi dan telaah kitab-kitab klasik (turats). Pengenalan wawasan keilmuan non agama juga mewajar.
Lazim kita temui di pesantren sebentuk keluruhan tekad dan disiplin diri dalam mengasup pengetahuan ‘secara mandiri’. Kemandirian ini muncul dari intensi dan inisiatif pribadi, bukan karena tekanan sistem. Misal, di Kajen (Pati), ada tradisi yang disebut matangpuluh. Matangpuluh merupakan praktik menghatamkan Alquran setiap hari, beruntun, selama empat puluh hari empat puluh malam. Sungguh satu praktik penempaan diri yang ketat.
Di bawah aliran kesalehan yang menampak di pelupuk netra, ada juga ‘amalan ruhani’ khusus. Amalan ruhani ini adalah apa yang terkenal sebagai laku kesufian atau tasawuf. Merujuk Gus Dur, selain aspek penguasaan ilmu keislaman, santri juga dituntut berdisiplin perihal kesalehan ruhaniah (Abdurrahman Wahid, 2001). Amalan ini dapat berupa wirid-zikir atau semacam tirakat di keseharian.
Perilaku beragama dan praktik keberislaman seperti yang ada di pesantren, sejauh yang saya saksikan selama mesantren (1998-2010). Tentu beda wajah dari realitas keislaman umum (awam): dilihat nampak, dikupas hampa.
Pernah terjadi satu fenomena menarik. Jama’ah umrah asal Indonesia pernah dikritik oleh salah seorang imam Masjid Nabawi, bahwa mereka seperti keranjingan “selfi” di tengah-tengah kondisi yang sebetulnya butuh kekhusyukan. (Pikiran-rakyat.com, 02/05/2023).
Anglaras Ilining Algoritma Zaman
Simbol-simbol agama marak kita gunakan sebagai penegas citra diri, supaya seseorang atau sekalangan tertentu terlihat santun dan bijak. Sedang bersamaan dengan itu terdapat keengganan menghayati nilai-nilai luhurnya sebagai jalan hidup.
Karlina Supelli, pengkaji teologi dan kosmologi(2013) memberi tengara: Sementara kearifan lokal terus kita sanjung sebagai tradisi yang perlu kita rawat, dan kita wariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur berantakan. Rupanya bukan tradisi itu sendiri yang ingin kita bela, melainkan citra tentang tradisi yang lebih mudah untuk dikemas dalam pertunjukan”.
Sudah bukan tabu, bila masyarakat modern hari-hari ini banyak yang mengalami kekosongan eksistensial pada diri pribadi. Mereka, dalam hal ini sangat bisa kita sendiri, begitu tersedot oleh hajat “menampilkan” daripada “memaknai” diri. Beragam model tampilan menjadi populer dan digemari. Hal ini sudah jamak, tak terkecuali kaum beragama. Tren ber-selfi di tempat ibadah adalah satu contoh saja. Contoh lain tak kurang, bahkan meruah.
Di era kini, tanpa perlu memburu, tiba-tiba kita disodori konten-konten yang terasa sesuai minat. Di sosial media, Facebook misalnya, pecinta tausiah akan diberi deret-pilih cuplikan video-video tausiah terus menerus. Ini adalah cara kerja algoritma. Konten-konten tersebut bisa dikatakan tidak menawarkan apapun selain nuansa kecanduan (adiktif). Karena, alih-alih tercerahkan, ujung dari semua itu adalah iklan dan konsumerisme.
Menolak zaman adalah menolak fitrah. Sunan Kalijaga, simbol kesalehan masyarakat Islam di Jawa, pernah berujar: anglaras ilining banyu, angeli ananging ura keli. Artinya, sekurangnya, seorang muslim sejati harus bisa menyesuaikan diri dengan aliran zaman, tetapi tidak hanyut begitu saja tanpa kendali. Dari sini, kita bisa belajar bahwa umat beragama didorong senantiasa bisa membawa diri—kukuh beriman dengan tanpa secara ekstrim menolak realitas.
Diskusi Kenusantaraan Berkemajuan
Masalah keagamaan di Indonesia tentu sangat rumit, kompleks dan renik, jauh melebihi apa yang saya sampaikan melalui tulisan ini. Namun, saya pikir, minimalnya ada dua langkah yang bisa kita lakukan—sebagai pendahuluan. Yakni: Pertama, kesediaan sharing antar organisasi atau institusi keislaman, dan kedua penguatan kapasitas di level personal.
Sebagai contoh, NU dan Muhammadiyah diharap mulai legawa berpenuh ketulusan dalam menjalin kerja sama dakwah keumatan. Sejarah yang panjang, saya pikir, menjadikan NU dan Muhammadiyah sudah saatnya duduk bersama dengan sikap dewasa.
Akan sangat mubazir, jika, misalnya, secara rutin perhatian keduanya tersita oleh wacana khilafiyah furu’iyyah (perbedaan sekunder, bahkan komplementer) soal penentuan tanggal hari raya, dan semiripnya. Paling tidak mulai ada pewacanaan serius untuk sharing pengalaman terkait kemaslahatan umat Islam di Indonesia.
Secara personal, adalah kewajiban bagi umat muslim, untuk keras menempa diri supaya memiliki kecakapan dan kapasitas yang memadai dalam menyelia di arus kekinian. Misalnya, dengan menekuni bidang kajian spesifik secara penuh luruh, kita niatkan berjihad menyokong agama. Allah menyukai pribadi-pribadi tatag yang tak mudah roboh oleh tamparan zaman. Kita butuh “berdiri sama tinggi” dengan peradaban global: efektif, efisien, dan tangkas. Sulitkah hal ini? Tentu saja! []