Mubadalah.id – Warga Indonesia sudah terkenal dengan masyarakat yang mudah mengikuti tren, dan tidak ingin merasa ketinggalan. Meski keuangan masyarakat Indonesia termasuk rendah. Namun, jika memasuki bulan Ramadan dan mendekati lebaran. Perilaku konsumtif masyarakat akan keluar. Segala upaya akan dilakukan demi menjaga hormat dari tetangga dan keluarga.
Ekonomi Merosot, Belanja Tetap Lanjut
Perilaku konsumtif adalah perilaku atau gaya hidup individu yang suka membelanjakan uangnya tanpa pertimbangan yang matang. Terlebih di dunia yang penuh digital seperti saat ini. Di mana belanja apa pun bisa di mana saja, kapan saja, dan dari mana pun. Teknologi mempermudah kehidupan manusia, tapi juga dapat menjadi boomerang tersendiri bagi yang terlena.
Dalam ekonomi yang serba seret. Sebagai masyarakat konsumen, masyarakat Indonesia kadang kala kalut dalam berbelanja berlebihan. Apalagi e-commerce saat ini membuat banyak orang tergiur dengan memberikan harga murah, ongkir gratis. Dan segala daya upaya dalam menggaet target pasar.
Dampak Negatif Perilaku Konsumtif
Mengutip dari DJKN Kemenkeu, terdapat beberapa kerugian dari perilaku konsumtif. Salah satunya ialah; pengeluaran yang membludak, padahal untuk barang yang tidak penting. Nafsu belanja yang sulit untuk dikontrol. Perilaku boros dan hedonisme yang mengikat. Adanya kecemburuan sosial lantaran melihat melihat gaya hidup dan barang milik orang lain. Sehingga memanipulasi diri sendiri untuk menginginkan hal yang sama.
Tidak hanya itu, perilaku konsumtif juga cenderung mengurangi kesempatan bagi individu untuk menabung. Sehingga tidak mampu untuk menyiapkan kebutuhan mendatang, dan tidak memiliki dana darurat. Menjadikan kabur antara mana keinginan, mana kebutuhan.
Lebaran Tidak Harus Baju Baru
Belanja yang berlebihan di bulan Ramadan dan menjelang lebaran seperti sudah menjadi tradisi. Perilaku konsumtif yang berlebihan pun menjadi tombak tersendiri. Bagaimana sikap sebagian masyarakat sudah terpatri di pikiran. Bahwasanya, lebaran segala hal haruslah baru. Baju baru, sepatu baru. Kue terpajang di rumah. Rumah yang harus terhias dengan cantik dan berwarna.
Segala hal yang bersifat sekunder menjadi sebuah keharusan dan membentuk kewajiban. Sehingga apabila tidak ada uang saat itu, menjadi dorongan untuk meminjam. Karena doktrin dalam pikiran masyarakat adalah, utang bisa dibayar besok. Namun, rasa malu atas ketiadaan hal baru menjelang lebaran adalah hal yang tak bisa tertanggungkan.
Hukum Berlebihan dalam Islam
Dalam Islam, sikap berlebih-lebihan atau konsumtif disebut ghuluw dan diharamkan oleh syariat. Sikap ghuluw tidak akan membawa kebaikan bagi pelakunya. Allah Swt. saja tidak menyukai orang-orang yang bersikap berlebihan dalam segala hal. Termasuk berbelanja melebihi kebutuhan.
Allah Swt. menegaskan dalam surat Al-A’raf, ayat 31, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Juga dalam surat Al-Furqan, ayat 67, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Perilaku Konsumtif yang Bersifat Haram
Apakah perilaku konsumtif yang hampir menjamah masyarakat Indonesia ini bersifat haram? Jika perilaku konsumtif terbatas pada hal-hal yang wajar, tentu saja tidak haram dan boleh dalam syariat.
Namun, jika perilaku konsumtif membawa mudharat yang lebih besar bagi pelakunya, maka haram. Seperti, akibat perilaku konsumtif pelaku terjerat utang yang besar, menekan mental pelaku, dan jatuh pada pilihan untuk mengakhiri hidup. Tentu saja, perilaku berlebihan menjadi haram hukumnya. Karena membawa bencana yang nyata.
“Sebaik-baik urusan ialah yang dilakukan dengan biasa-biasa atau sedang-sedang saja, sekali pun itu sedikit.”
Gimana sallingers, masih tertarik buat check out baju baru? Boleh, asal jangan banyak-banyak ya! []