Mubadalah.id – Meski telah mencapai banyak kemajuan, perempuan masih hadapi berbagai tantangan dan hambatan hari ini. Fakta tersebut menjadi refleksi kritis dalam peringatan 16 HAKTP Internasional di tahun 2024 ini. Perempuan belum berada di garis garda terdepan bersama-sama partnernya, laki-laki, dalam isu-isu yang menentukan masa depan bersama.
Demikian kurang lebih ulasan Kompas.id, atas terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri Asia-Pasifik tentang Tinjauan Beijing+30 (The Asia Pacific Ministerial Conference on BPfA+30 Review), pada 19 – 21 November 2024 lalu, di Bangkok, Thailand.
Menyitir Armida Salsilah Alisjahbana, Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik (ESCAP), Kompas misalnya menyebutkan, inovasi digital yang tengah berkembang miliki potensi baik untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan.
Namun hal itu hanya akan beresiko ciptakan “kesenjangan digital” baru jika tidak tempatkan azas relasi kesetaraan (adil) jender. Demikian juga dengan transisi hijau, harus lebih dari sekadar hijau, harus adil, dan juga mengakui peran perempuan sebagai agen penting perubahan aksi iklim.
Kata Armida Salsilah Alisjahbana tegas, “Tanpa fokus pada kesataraan jender isu-isu masa depan kita bersama, aksi iklim, maupun transformasi digital, semuanya hanya akan beresiko memperdalam ketidaksetaraan”.
Perempuan masih Mendapatkan Kekerasan
Memang, alih-alih meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan, sebagaimana laki-laki, atas sumber-sumber daya ekonomi, politik, sosial maupun budaya; Perempuan justru masih kian mendapatkan perlakuan kekerasan yang kian beragam bentuknya. Hampir di seluruh lini kehidupan hari ini.
Dalam konteks politik Indonesia yang baru saja usai kita saksikan bersama pada kontestasi elektoral di sepanjang 2024, misalnya. Bahkan perempuan terang menghadapi isu ancaman terhadap demokrasi, dan juga gerakan ujaran-ujaran anti jender dan HAM.
Hal ini terjadi akibat masih menguatnya bias feminisme, fundalmentalisme, militerisme dan kekerasan yang merentankan perempuan terhadap berbagai kekerasan berbasis jender. Termasuk ancaman terhadap Perempuan Pembela HAM dan femisida. Isu digitalisasi yang berinterseksi dengan krisis iklim. Penguatan ekonomi perempuan dan penghapusan gender digital gap. Keamanan data pribadi, serta kekerasan berbasis jender siber lainnya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan dalam siaran persnya pada 29 November 2024 lalu, usai Konferensi Asia-Pasifik tersebut, bahkan juga sebutkan di negara-negara dengan agama masih melekat kuat, termasuk Indonesia, perempuan masih hadapi ancaman kekerasan berupa Pemotongan Pelukaan Genital Perempuan (P2GP). Selain itu implementasi undang-undang keluarga, seperti dispensasi kawin anak yang masih penuh sengkarut.
Sedang dalam konteks lebih global, bahkan perempuan dan anak masih saja terus menjadi korban utama atas kejahatan bersenjata akibat konflik perang yang terus berkecamuk, menuju tubir jurang ambang Perang Dunia III. Jalan terjal, lorong gelap seolah masih melingkupi partisipasi politik dan kepemimpinan perempuan. Termasuk dalam usaha mendorong kemerdekaan Palestina dan galang dukungan negara-negara dunia.
Konferensi Perempuan Internasional, Peta Penunjuk Jalan
Konferensi tingkat Menteri Asia-Pasifik yang terselenggara oleh ESCAP dan UN Women yang berlangsung di Kantor United Nations Conference Centre (UNCC) Bangkok tersebut, sesunguhnya adalah berasal dari sejarah panjang kurun hampir 30 tahun. Bahkan lebih lama lagi, tentang usaha penguatan dan pemenuhan Hak-hak Asasi Perempuan Internasional.
Sejak saat itu negara-negara anggota PBB telah menyepakati dan meratifikasi berbagai kesepakatan internasional sebagai peta penunjuk jalan dan landasan aksi menuju penguatan dan pemenuhan Hak-hak Asasi tersebut.
Antara lain Convention on the Political Rights of Women, sebagai hasil kesepakatan dari pertemuan pada tahun 1952. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women/ CEDAW).
Di mana Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ini melalui UU No. 7 Tahun 1984. usai PBB mengadopsi pada 1979 dan memberlakukannya pada 3 Desember 1981. Selain itu juga Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan atau Declaration on the Elimination of Violence Against Women, tahun 1993.
Menyusul kemudian Konferensi dunia ke-4 tentang Perempuan yang terselenggara di Beijing, China pada 4 – 15 September 1995. Konferensi inilah yang menyematkan diri menjadi titik balik perjuangan dan keseriusan dunia dalam mencapai kesetaraan jender secara global. Pada Konferensi tersebut menyepakati deklarasi dan kerangka aksi berupa Beijing Platform for Action atau BPfA. Di mana 189 negara termasuk Indonesia bersepakat mengadopsinya.
Pentingnya Beijing Platform for Action (BPfA)
Syamsiyah Ahmad, satu-satunya tokoh Perempuan Indonesia yang pernah bekerja sebagai staf profesional pada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan juga terlibat dalam penyusunan CEDAW. Dalam bukunya tentang Landasan Aksi dan Deklarasi Beijing: Persamaan, Pembangunan, dan Perdamaian (1995), menyebutkan bahwa BPfA sangat memiliki arti penting.
Hal itu karena BPfA memuat dokumen strategis pemberdayaan dan kemajuan perempuan, penegakan hak asasi manusia dan pembangunan yang mendorong perempuan untuk mengorganisir diri, bertindak dan mencari alternatif-alternatif.
Dengan landasan BPfA, menurut Syamsiyah gerakan perempuan menjadi lebih memahami, mengenal, memperluas perspektif dan strategi pencapaian Hak-hak Asasinya. Selain itu juga mewujudkan persamaan harkat dan martabat, serta meningkatkan akses dan kontrol kaum perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Karenanya BPfA memuat 12 bidang kritis di mana setiap negara anggota ratifikasi harus melaporkan perkembangannya setiap 5 tahun dalam Konferensi Tinjauan Beijing tersebut.
Adapun 12 bidang kritis tersebut adalah: 1) Perempuan dan Kemiskinan; 2) Perempuan dalam Pendidikan dan Pelatihan; 3) Perempuan dan Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap Perempuan; 5) Perempuan dalam situasi konflik bersenjata; 6) Perempuan dalam ekonomi; 7) Perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; 8) Perempuan dalam mekanisme institusional untuk pemajuan perempuan; 9) HAM Perempuan; 10) Perempuan dan Media; 11) Perempuan dan lingkungan hidup; Serta 12) tentang Anak Perempuan.
Peran Indonesia
Indonesia sendiri selama ini telah membuat review implementasi BPfA sejak usai tahun 1995. Indonesia melaporkan perkembangan pelaksanaan BPfA di forum Asia Pasifik tersebut. Kemudian mendapatkan review secara utuh dari Commission on the Status of Women (CSW), sejak tahun 2000, 2005, 2010, 2015, 2020 hingga November 2024 lalu.
Melalui review tersebut berharap menghasilkan dokumen keluaran yang mendorong kembali komitmen global untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, serta menegaskan aksi-aksi prioritas untuk lima tahun selanjutnya.
Termasuk juga mengangkat berbagai kemajuan yang telah tercapai, tantangan yang masih terus menghadang, juga isu-isu baru yang belum tercatat dalam area of concern BPfA. Laporan yang komprehensif, jujur dan terbuka akan semakin meyakinkan akan dapat terpenuhinya kesetaraan jender, serta Hak-hak Asasi Perempuan internasional, bersama-sama.
Laporan Komnas Perempuan untuk KPPPA
Sebelumnya, Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM nasional independen dengan mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan telah menyerahkan laporannya kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) selaku leading sector. Untuk selanjutnya masuk dalam pertimbangan laporan KPPPA dalam forum BPfA+30.
Dalam laporannya tersebut Komnas Perempuan menyoroti sejumlah isu prioritas yang terkait dengan pelaksanaan 12 bidang kritis BPfA. Sekaligus juga terkait dengan capaian tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Isu-isu tersebut, antara lain:
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT);
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat;
- Kebijakan Perlindungan Perempuan Pembela HAM;
- Percepatan pelaksanaan peraturan turunan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
- Memastikan pelaksanaan hak kesehatan reproduksi termasuk pada kelompok rentan dan hak atas aborsi legal;
- Memastikan pelaksanaan penghapusan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP);
- Pemenuhan akses layanan kesehatan termasuk kesehatan mental terjangkau dan bebas dari diskriminasi dan kekerasan bagi perempuan disabilitas mental;
- Pemenuhan hak maternitas dan kerja layak pada perempuan pekerja;
- Pemenuhan hak atas keadilan termasuk hak atas pemulihan perempuan korban pelanggaran HAM masa lalu;
- Penghapusan kekerasan berbasis jender dan pemenuhan hak-hak dasar perempuan pada konteks migrasi;
- Serta Penghapusan diskriminasi dan kekerasan berbasis jender di lingkungan media. (Bersambung)