Mubadalah.id – Pada tahun 1939 M, Aisyah binti asy-Syathi’ mulai masuk kuliah di fakultas Adab (sastra), jurusan bahasa Arab, Universitas Kairo. Hal ini bisa terjadi berkat perjuangan ibunya.
Ayahnya masih belum mengizinkan anak gadisnya pergi jauh-jauh dari rumah. Dalam waktu singkat, dua tahun, Aisyah binti asy-Syathi’ lulus dengan predikat “asy-syaraf al-ula” (cumlaude).
Kemudian, perempuan yang kerap disapa Bintusy Syathi melanjutkan pendidikannya ke Dirasah Ulya (pascasarjana) dan lagi-lagi memperoleh prestasi akademik luar biasa. Di pascasarjana ini, ia bertemu dengan dosen sekaligus pembimbingnya, Prof. Dr. Amin al-Khuli.
Beberapa waktu kemudian, sang dosen menjadi suaminya. Prof. Dr. Amin al-Khuli saat itu terkenal oleh publik sebagai sastrawan dan ahli tafsir terkemuka. Ia mempunyai forum sastra, tempat para sastrawan berkumpul dan berdiskusi sastra.
Meskipun sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak hasil perkawinannya dengan Prof. Al-Khuli, Bintusy Syathi’ tetap melanjutkan kuliah untuk program doktoral.
Tahun 1950, ia berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang yang dipimpin oleh dekan Fakultas Sastra saat itu, Dr. Toha Husein.
Pada 1960-an, Bintusy Syathi kerap menyampaikan kuliah atau ceramah ilmiah keagamaan di hadapan para sarjana di berbagai negara, antara lain di Roma, Aljazair, Baghdad, New Delhi, Kuwait, Rabat, Khartum, Umm Durman (Sudan), Fez (Tunisia), dan Yerusalem.
Guru Besar
Pada 1970-an, ia dinobatkan sebagai guru besar atau profesor sastra dan bahasa Arab di Universitas Ayn Syams, Mesir. Ia juga menjabat sebagai guru besar di Universitas Qarawiyyin, Maroko.
Sejumlah peneliti pikiran-pikiran Aisyah binti asy-Syathi’ mengemukakan bahwa perempuan ahli tafsir ini termasuk konservatif dalam sejumlah isu gender. Beberapa di antaranya ialah tentang kebebasan perempuan. Ia menyetujui prinsip proteksi laki-laki atas perempuan.
Ia berpandangan bahwa kebebasan tidak boleh mengabaikan nilai-nilai Islam tradisional. Namun, sebagaimana para penafsir konvensional, ia mengakui adanya ayat qath’i, ayat-ayat yang pasti yang tidak boleh kita ubah.
Misalnya, tentang bolehnya poligami, bagian waris perempuan adalah separuh bagian waris laki-laki, dan hukuman memukul istri yang “nusyuz” terhadap suami. []