Mubadalah.id – Sejak kecil, Zainab al-Ghazali merupakan sosok perempuan ulama yang sangat rajin membaca buku sastra dan puisi. Ia sangat tertarik membaca karya sastra seorang pujangga perempuan terkenal, Aisyah Taimuriyah. Zainab begitu terkesan dengannya.
Di sekolah menengah, Zainab al-Ghazali dikenal sebagai siswa yang rajin, cerdas, kritis, dan berani. Ia sering terlibat dalam diskusi dengan teman-teman, bahkan gurunya.
Selain belajar di kelas, Zainab al-Ghazali juga aktif belajar kepada sejumlah syekh di Al-Azhar, antara lain Syekh Abdul Majid al-Lubban, Syekh Muhammad Sulaiman an-Najjar (Ketua Jurusan Dakwah wal Irsyad), Syekh Ali Mahfuz (anggota ulama besar Al-Azhar), dan lain-lain.
Sesudah mengikuti pendidikan menengah, Zainab melanjutkan kuliah di Universitas al-Azhar dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kampus. Pikirannya berkembang sangat dinamis dan kritis.
Pada perjalanan selanjutnya, ia berkenalan dengan organisasi perempuan yang dipimpin oleh Huda Syarawi. Ia tertarik dengan organisasi ini dan masuk sebagai anggotanya. Dan, dalam waktu singkat, namanya menonjol sebagai perempuan aktivis yang sangat militan dan progresif.
Selanjutnya, Zainab terlibat diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan intensif dengan para mahasiswa dan dosen-dosen Universitas Al-Azhar yang menentang organisasi perempuan yang dipimpin oleh Huda Sya’rawi.
Menurut mereka, organisasi tersebut dituduh sebagai organisasi liberal. Sebagian mereka bahkan menolak dan melarang keras Zainab ceramah atau memberikan kuliah di masjid-masjid.
Organisasi yang Huda Sya’rawi bangun itu bernama Persatuan Perempuan Mesir. Namun, Zainab tidak bertahan lama di organisasi ini, karena banyak misinya yang tidak sejalan dengan Islam.
Menurutnya, organisasi Persatuan Perempuan Mesir adalah organisasi nasionalis sekuler. Zainab kemudian mendirikan organisasi lain yang sama untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi bercorak islami. Namanya ialah Jam’iyyah asy-Sayyidat al-Muslimin atau Muslim Ladies Association.
Melalui organisasi ini, ia ingin mengembalikan kemuliaan dan hak-hak perempuan sesuai dengan syariat Islam yang kaffah, berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dikabarkan bahwa Zainab menyelenggarakan pengajian umum setiap minggu, bertempat di Masjid Ibnu Thulun. Pengajian ini dihadiri oleh sekitar tiga ribuan orang. Pada momen-momen bersejarah, bahkan bisa mencapai lima ribuan orang.
Zainab al-Ghazali Mendapakan Kritik
Akan tetapi pandangan-pandangan keagamaan Zainab al-Ghazali mendapatkan kritik dari orang-orang konservatif radikal.
Mereka mengkritik perempuan yang keluar rumah. Ia memandang kerusakan sosial terjadi karena banyak perempuan yang meninggalkan rumahnya.
Namun, pada saat yang lain, ia berpendapat bahwa Islam memperkenankan perempuan untuk aktif dalam setiap aspek kehidupan publik, dengan catatan tidak dapat terganggu oleh tugas utamanya yang paling suci (agung), yakni menjadi istri dan ibu.
Di samping organisasi ini giat dalam berdakwah secara oral melalui ceramah-ceramah yang intensif, organisasi ini juga mengelola panti asuhan untuk yatim-piatu dan orang-orang miskin.
Kemudian, ia juga mendirikan lembaga-lembaga konsultasi untuk penyelesaian konflik keluarga, juga menerbitkan buletin dan majalah bulanan. Organisasi yang ia pimpin ini bahkan bekerja sama dengan Ikhwanul Muslimin yang Syekh Hasan al-Banna bangun. []