Mubadalah.id – Indonesia adalah bangsa muslim terbesar di dunia. Dalam banyak perbincangan di antara aktivis perempuan muslim dunia.
Indonesia dipandang sebagai negara yang sangat progresif dalam memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak asasi mereka. Terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Progresivitas ini semakin luas dan intensif sangat terkait dengan keterbukaan demokrasi yang semakin dinamis. Beberapa aktivis perempuan terkemuka dunia memuji-muji negara ini atas keberhasilannya memajukan kaum perempuan dalam banyak aspek. Mereka ingin mendengar dan belajar dari Indonesia.
Sejumlah perempuan aktivis dari Afghanistan yang berkunjung ke beberapa pesantren di Jawa Barat mengungkapkan rasa takjub mereka saat melihat kenyataan masyarakat Indonesia.
“Saya benar-benar heran sekaligus takjub bagaimana bisa para santri putra dan putri di pesantren begitu terbuka. Tak ada ruang yang memisahkan ketika mereka belajar di kelas. Tak ada segregasi.” Demikian argumen salah seorang aktivis tersebut.
Kemajuan Indonesia Pasca Reformasi
Tidak bisa dipungkiri, kita memang menyaksikan bahwa secara politik, sejak reformasi digulirkan pada1998, Indonesia telah berhasil mendudukkan perempuan di puncak kepemimpinan politik nasional, sebagai presiden, meski sempat memunculkan kontroversi di kalangan sebagian masyarakat muslim.
Perubahan sistem politik dari sentralisasi ke desentralisasi sebagai produk penting reformasi telah melahirkan ruang yang semakin terbuka bagi tampilnya perempuan di tampuk kepemimpinan publik di daerah-daerah.
Kini semakin banyak perempuan menempati posisi pengambil keputusan politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Beberapa perempuan menjadi gubernur, bupati, atau wali kota. Serta sejumlah jabatan penting lain, dengan prestasi yang relatif gemilang.
Keputusan affirmative action: kuota 306 kursi bagi perempuan telah berhasil diundangkan, meskipun belum cukup memuaskan dan perlu peningkatan.
Dalam aspek hukum, Indonesia telah merativikasi konvensi CEDAW melalui UU no. 7 tahun 1984 dan sejumlah ratifikasi konvensi dan kovenan internasional lainnya.
Kemudian, ratifikasi-ratifikasi ini telah membawa dampak penting bagi kemajuan kaum perempuan. Dari sini, sejumlah kebijakan publik/politik kemudian berhasil lahir.
Komisi Nasional Perempuan mencatat bahwa dalam sepuluh tahun reformasi, telah dihasilkan 29 kebijakan baru untuk menangani dan menghapuskan kekerasan terhadap perempuan: 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 di tingkat daerah, dan 3 di tingkat ASEAN. []