Mubadalah.id – Selama ini, jika mendengar kata “toleransi”, maka yang hadir di benak kita adalah tentang bagaimana cara bersikap saling harga-menghargai dalam ruang lingkup perbedaan suku, agama, aliran, ataupun ras yang berada dalam masyarakat di mana kita tinggal. Lalu bagaimana menerapkan toleransi dalam rumah tangga?
Hal ini yang kerap luput dari kita adalah mengaplikasikan sikap toleransi itu dalam struktur masyarakat terkecil dalam kehidupan sosial. Yakni rumah tangga. Pun keluarga terbentuk atas dua perbedaan antara suami dan istri. Bagi pasangan yang telah membicarakan visi dan misi pernikahan sebelum pernikahan berlangsung adalah sebuah keberuntungan. Sedangkan bagi yang belum, juga sebuah kesempatan untuk terus belajar bertoleransi dalam rumah tangga bersama pasangan.
Tidak semua pasangan dapat memiliki kebebasan untuk memilih dan direstui dengan siapa dia akan menikah. Terlebih di masyarakat kita yang masih kental dengan budaya patriarki. Seperti menjodohkan anak, tanpa meminta persetujuan. Maka tidak mengherankan, jika kita melihat pasangan yang tampaknya sempurna, namun pada kenyataannya menyimpan luka batin yang sulit sembuh.
Kesalehan tak Menjamin Bisa Bersikap Adil
Seperti yang terjadi pada seorang kawan saya, ia dinikahkan dengan pria saleh yang belum terlalu ia kenal. Lagi-lagi, saleh dalam hal agama tidak dapat menjadi jaminan seseorang dapat berlaku adil kepada pasangan. Karena dalam berumah-tangga, seorang saleh atau baik adalah ketika ia dapat memperlakukan pasangannya dengan baik pula. Yakni tidak membuatnya menderita secara psikis, menangis, dan melakukan kesabaran yang tidak pasti, serta perlakuan diskriminasi lainnya.
Lagi-lagi, sebagaimana bunyi hadis yang Anas bin Malik ra. sampaikan bahwasanya Kanjeng Nabi menegaskan, pernikahan itu setengah dari ibadah, oleh karena itu, tugas bagi umat manusia yang memilih untuk menikah adalah menjadikan pernikahan tersebut sebagai ibadah yang menyenangkan, bukan hubungan yang membebankan.
Mustahil ada pasutri yang memiliki kehidupan pernikahan yang mulus-mulus saja, semua pasutri pasti mengalami dinamikanya masing-masing. Baik yang telah mengenal dengan sangat baik, atau belum kenal sama sekali. Oleh karena itu, setiap pasangan selalu dituntut untuk selalu belajar dan mengevaluasi bersama apa-apa yang terjadi dalam pernikahan.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw. melalui sifat wajibnya telah memberikan modal dasar toleransi dalam rumah tangga. Sikap ini dapat kita gunakan dalam menjalin semua relasi dengan baik, termasuk dalam pernikahan. Apa saja itu?
Teladan Nabi Modal Toleransi dalam Rumah Tangga
Pertama, Shidq. Dalam menghargai pasangan, kita dituntut untuk dapat berkata jujur, benar, apa adanya, dan terbuka. Jika sudah menikah, pasangan adalah bagian dari diri kita yang lain. Sudah bukan saatnya kita menutupi suatu hal kepada pasangan, terlebih itu adalah suatu hal yang penting. Dengan tidak menyembunyikan apapun dari pasangan, secara tidak langsung kita menghargai dirinya, yang sama pula dengan menghargai diri kita sendiri.
Dengan berkata jujur dan benar, kita memberikan ruang kepercayaan yang luas untuk pasangan. Jujur di sini tidak selalu tentang hal-hal suka, namun juga hal-hal duka. Sehingga setiap pasangan dapat menanggung suka dan duka bersama. Ttidak ada salah satu pihak yang merasa terabaikan dan tidak dihargai.
Kedua, Amanah. Amanah atau dapat terpercaya dapat juga kita artikan sebagai sikap bertanggung-jawab. Guna menghargai pasangan, siapapun itu tertuntut untuk saling dapat bertanggung-jawab. Misalnya dalam kasus mencari nafkah, apakah itu suami, istri, atau bersama-sama. Keduanya harus benar-benar bertanggung-jawab atas kesepakatan itu.
Bukan besar-kecilnya nominal nafkah yang kerap menjadi konflik dalam rumah tangga, melainkan sikap tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Kita sering melihat banyak pasangan yang adem ayem walaupun dalam kondisi yang pas-pasan.
Jika kita cermati lagi, ternyata kelebihan mereka adalah adanya kesalingan tanggung jawab penuh dalam pernikahan. Sehingga hasil yang didapatkan sudah merupakan hasil yang maksimal, kedua pihak mensyukurinya, dan masing-masing dapat saling menghargai.
Berbeda jika tidak ada sikap tanggung jawab yang konsisten, pasangan akan merasa tidak dihargai, tidak diperjuangkan, dan tidak ada artinya. Tanggung jawab di sini meliputi segala hal, baik yang berhubungan dengan materi maupun imateri, sehingga kedua belah pihak harus dapat saling menjaga dan dapat dipercaya.
Tetap Berupaya Mencari Solusi
Ketiga, tabligh. Sampaikan saja semua yang kamu rasa dan pikirkan! Banyak pihak yang merasa sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangan. Pasangan cenderung cuek, tidak mau tahu dan perduli. Sehingga banyak suami atau istri yang tertekan akibat sikap yang demikian. Jangan berhenti berusaha, jika sulit dengan berbicara langsung. Gunakan media lain untuk mengungkapkan dan tetap berbicara, entah itu dengan menggunakan pesan telefon, ataupun menuliskannya di secarik kertas.
Walaupun tidak langsung memberikan respon yang signifikan, setidaknya pasangan mengetahui apa yang sedang kita rasakan, daripada kita diam tanpa melakukan apapun. Dan ‘tak lupa, ajak dia juga untuk melakukan hal yang sama, yakni menyampaikan dan berkata jujur atas apa yang dia rasakan, apa yang dia harapkan, dan apa yang dia inginkan atas diri kita.
Sekecil apapun itu, tidak hanya tentang masalah dapur, anak, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya, tentang perasaan yang sedang kita alamipun, masing-masing pihak harus dapat menyampaikannya dengan terbuka kepada pasangan. Untuk apa, agar pasangan dapat mengetahuinya, karena tentang perasaan adalah sesuatu yang ada dalam hati, bagaimana pasangan dapat mengetahuinya jika kita tidak berbicara yang sesungguhnya.
Keempat, fathonah. Ini adalah kunci utama dalam mengurai konflik rumah tangga, dan menjadi keistimewaan kita sebagai manusia untuk mensyukuri anugerahnya. Yakni kita harus memiliki strategi yang terproses dengan kecerdasan akal yang kita miliki. Saat mengalami dinamika rumah tangga, kita tidak seharusnya bersabar dengan cara berdiam diri dan meratap. Tetapi harus kita sertai dengan usaha yang menuju kepada terselesaikannya suatu masalah.
Bicara Terbuka dengan Pasangan
Sudah saatnya kita berfikir, memikirkan apa masalah yang kita hadapi, bicarakan bersama pasangan dengan terbuka dan rasa tanggung jawab, kemudian pikirkan bagaimana cara menyelesaikannya. Namanya pernikahan, tidak bisa kita menyelesaikan semua masalah secara sendiri-sendiri, semuanya harus bersama pasangan.
Salingers, sudahi galau dan sedihmu, yuk bangkit dan usahakan empat hal ini benar-benar ada dalam relasi pernikahanmu! Supaya, tidak ada lagi relasi toksik antara diri kamu dan pasangan. Sudah saatnya kita semua berbahagia! Bagaimanapun proses awal kita semua menikah, itu adalah bagian dari takdir yang tidak dapat kita ubah.
Tugas kita bukanlah untuk menyerah, melainkan terus belajar bersama dengan kepastian arah. Karena ini rumah tangga milik kita, rumah tangga yang kita yakini sebagai salah satu bentuk ibadah yang kita lakukan secara lillah. Semoga kita semua dapat meng-upgrade kualitas hubungan kita dalam berumah-tangga yang baik dengan pasangan, sehingga doa-doa yang dipanjatkan atas kita saat menikah (sakinah, mawaddah, dan rahmah) dapat terwujud dan membahagiakan kita semua. Aamiin. []