Mubadalah.id – Dari sekian banyak model undangan yang terpajang di etalase toko percetakan, mereka punya titik kesamaan. Bagi pemesan atau calon tuan hajat beragama Islam, di dalam lembarannya hampir pasti tertulis satu terjemahan ayat Al-Qur’an yang sudah begitu kita kenal, yakni Ar-Rum: 21.
Kemunculan terjemahan ayat itu tentu bukan cuma berdasarkan pesanan atau karena menuruti tren yang berkembang. Namun, memang di dalamnya ada pengingat dan doa penting untuk semua orang. Yakni, pernikahan adalah tirakat dan jalan panjang untuk mengupayakan sebuah ketenangan.
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan Anda dari (jenis) diri Anda sendiri agar Anda merasa tenteram padanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sejatinya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Pernikahan adalah media kasih sayang. Kasih (rahmah) dan sayang (mawaddah) itu harus kita upayakan untuk terus tumbuh hingga menjadi “litaskunu ilaiha,” keadaan yang saling menenangkan. Dari sakinah (ketenangan) itulah, kemudian muncul aneka keberkahan dari dalam rumah tangga.
Pernikahan adalah Perjanjian Agung
Pada akhirnya, sakinah, mawaddah, dan rahmah bukanlah label permanen. Ketiga-tiganya justru merupakan sesuatu yang wajib terus kita ikhtiari. Naik-turun, lekat-renggang, panas-dingin, ialah hal yang biasa.
Oleh karenanya, oleh Islam, pernikahan juga kita sebut sebagai mitsaqan ghalidza atau “perjanjian agung” (QS. An-Nisa: 21). Selayaknya sebuah perjanjian, maka selain bisa kita pertahankan, boleh juga kita koreksi, bahkan kita batalkan.
Pernikahan bukanlah pemasrahan nasib secara mutlak seorang perempuan kepada laki-laki, istri kepada suami, atau sebaliknya. Oleh karena itu, yang membedakan pernikahan sebagai perjanjian agung ini adalah keharusan sikap mu’asyarah bil ma’ruf atau kesalingan berlaku baik di antara pasangan (QS. An-Nisa: 19).
Arti kesalingan dan beban tanggung jawab yang sama antara suami dan istri itu juga dikuatkan melalui penggunaan lafaz “zawaj” yang bermakna pasangan. Ibarat sepasang sayap, suami dan istri memiliki posisi dan porsi yang sama demi bisa menerbangkan diri menuju sesuatu yang telah dicita-citakan dalam rumah tangga.
Jadi, pernikahan bukanlah target hidup. Tetapi, ia malah merupakan awal dari segala tanggung jawab. Pernikahan adalah sebuah ibadah panjang yang perlu terus dijaga secara sadar demi menuju kebahagiaan abadi, tanpa resah, sakit, apalagi diskriminasi.
Surat Maulana Jalaluddin Rumi
Terkait pentingnya kesadaran ini, dalam Manaqib Arifin, Maulana Jalaluddin Rumi diceritakan pernah menulis surat dengan isi yang sangat menggetarkan hati untuk menantu perempuannya, tetapi menjadi pengingat yang tajam bagi putranya sendiri:
“Aku bersaksi kepada Tuhan, jika Anda merasa tidak mendapat perlakuan baik dari putraku, kami akan sepuluh kali lipat lebih bersedih. Jika putraku menyakitimu, ketahuilah ia akan terusir dari hatiku. Aku tidak akan menjawab salam dan melarangnya untuk melayat jenazahku.”
Sekali lagi, pernikahan ialah tirakat untuk saling mengasihi, menyayangi, menenangkan, dan membangun kebahagiaan suami dan istri. Jika sudah seperti itu, niscaya bisa menjadi jawaban jitu bagi Rabi’ah al-Adawiyah yang pernah bertanya, “Apakah dengan menikah bisa mendekatkan kita kepada Tuhan?” Wallahu a’lam. []