Mubadalah.id – Jikapun Hadis Aisyah r.a tentang pernikahan anak diterima, namun kita tidak bisa serta-merta merujuknya untuk memperbolehkan atau menganjurkan pernikahan anak. Karena kita harus selalu bertanggung jawab dengan pilihan-pilihan yang kita lakukan.
Kita tidak bisa, misalnya, mengendarai kuda di atas jalan tol, karena ingin meniru Nabi Saw., sehingga melawan aturan pemerintah dengan alasan meneladani Nabi Saw. lebih diutamakan dibanding peraturan pemerintah.
Logika ini tentu saja salah. Ini mencerminkan pribadi yang tidak bertanggung jawab dan tidak bertenggang rasa dengan kehidupan banyak orang karena bisa mengakibatkan kekacauan lalu lintas.
Begitu pun terkait pernikahan usia anak. Kita tidak bisa, dengan alasan meniru pernikahan Nabi Saw. dengan Aisyah r.a., memperbolehkan atau menganjurkan pernikahan usia anak.
Karena pernikahan, yang pada praktiknya sering mengalami problem sosial, akan membebani masyarakat dan negara.
Kedua mempelai akan terancam sakit secara moral, psikologis, medis, sosial, dan ekonomi. Apalagi bagi anak-anak yang ia lahirkan dari pasangan pernikahan anak.
Seseorang yang menikah di usia anak, terutama perempuan dengan tanggung jawab sebagai istri akan keluar dari program wajib belajar. Hal tersebut menyebabkan ia tidak memiliki keterampilan untuk bekerja.
Sehingga sulit mengakses sumber ekonomi dan membuatnya menjadi miskin, mentalnya tidak stabil, dan beresiko terhadap problem-problem medis dan sosial. Yang kemudian akibatnya harus masyarakat dan negara ikut bertanggung jawab.
Beban negara menjadi berat karena menghadapi anak-anak yang mental dan intelektualnya lemah. Yang juga akan melahirkan anak-anak yang lemah secara fisik, mental, maupun intelektual. []