Mubaadalah.id – Faktor usia sangat penting dalam membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Pasalnya, usia di bawah 18 tahun belum tentu memiliki kematangan mental, pikiran dan kesehatan. Hal itu dapat mengancam keutuhan keluarga, dan timbulnya persoalan baru. Pernikahan bukan hanya kepentingan orangtua.
Aktivis perempuan, Nihayatul Wafiroh mengatakan, sebelum membangun keluarga, perlu disiapkan adalah mental, pikiran, dan kesehatan. Karena faktor ekonomi tentunya bisa jalan bersama dari pasangan tersebut.
“Pernikahan bukan hanya kepentingan orangtua, tetapi orang bebas menentukan dengan siapa ia menikah. Pastikan juga ketika Anda menikah, harus siap lahir dan batin,” kata Ninik, panggilan akrabnya kepada Mubaadalahnews, belum lama ini.
Selain itu, pemahaman agama masih sedikit, dan budaya masih kental. Sehingga praktik pernikahan dini masih marak terjadi di masyarakat.
“Meski punya ekonomi bagus, tapi tetap saja nikah dini dipraktikkan. Ini karena pemahaman agama minim dan budaya (patriarkhi) yang kuat di masyarakat,” tuturnya.
Usia pernikahan ideal
Perempuan yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR mengaku pernah presentasi soal pernikahan dini, akan tetapi aturan batas waktu pernikahan itu tidak punya definisi tunggal.
Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 74 soal pernikahan menyebutkan usia pernikahan perempuan 16 tahun. Namun di sisi lain, seorang anak muda bisa memiliki kartu tanda penduduk (KTP) umur 17 tahun dan di aturan pemilihan juga umur 17 tahun bisa mencoblos.
“Jadi tak ada ketentuan tunggal seorang dianggap dewasa,” imbuhnya.
Terkait standar usia menikah, Ninik justru menyepakati program Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahwa usia pernikahan ideal itu 21 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan.
Sebab, Ninik mengasumsikan bahwa anak usai itu sudah lulus kuliah atau semester akhir. Sehingga secara psikologi, fisik dan kematangan berpikir sudah siap untuk pernikahan.
Sebelum di Komisi II DPR RI, Ninik menjabat di Komisi IX yang bermitra dengan BKKBN dan Kementerian Kesehatan. Menurutnya, perempuan harus dilakukan penyuluhan melalui dana desa, dan memastikan perempuan memiliki akses ke dana desa.
“Nantinya mereka bisa mendapatkan pendidikan, sehingga hal itu bisa menurunkan angka pernikahan dini,” tegasnya.
Kepala keluarga
Ninik tak setuju melihat laki-laki itu menjadi kepala keluarga. Sebab kalau laki-laki menjadi kepala keluarga, maka secara otomatis ada kakinya. Dalam rumah tangga itu bukan kepala dan kaki, tetapi soal relasi yang sejajar antara laki-laki dengan perempuan.
Namun, ia menyatakan bahwa relasi yang sejajar itu perempuan selalu menjadi korbannya. Tetapi laki-laki pun bisa menjadi, karena standar kebahagiaan setiap keluarga itu berbeda-beda.
“Kita tak bisa mengatakan bahwa rumah tangga ideal itu bla bla bla. Karena standar kebahagian itu berbeda-beda. Tapi yang jelas, bagaimana mereka saling berbagi, saling menghargai, saling mencintai, saling menyayangi. Itu kuncinya,” pungkasnya.(WIN)