Mubadalah.id – Dalam satu atau dua minggu ini kita melihat setiap hari pesantren di mana saja kedatangan para santri baru. Sebagian di antaranya sedang mengadakan “Matsaba” (Masa Taaruf Santri Baru/Masa Perkenalan dan Pengenalan) .
Seorang sahabat bertanya: “Apakah yang menarik dari pesantren?.
Ketika aku belajar di Pesantren, banyak kiai mengatakan: “Belajar dan mengaji di pesantren itu untuk menghilangkan kebodohan dan menanamkan akhlak yang baik”.
Kalimat ini tampak amat sederhana memang, tetapi ia memiliki arti yang mendasar, prinsipal. Kebodohan adalah kegelapan. Permusuhan atau kebencian terhadap orang lain lebih sering akibat dari kebodohan atau ketidakmengertian diri tentang orang lain itu.
Akibatnya kebodohan berpotensi untuk bertindak zalim, menganiaya, tidak adil. Aku sering mengatakan: “Salah satu akar permusuhan adalah ketidakmengertian seorang atas yang lain”.
Al-Qur’an mengatakan dengan narasi yang mengagumkan:
الر ۚ كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَىٰ صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Artinya: “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan (membebasksn) manusia dari dunia gelap menuju dunia bercahaya, dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Terpuji. (QS. Ibrahim ayat 1)
Itulah sebabnya mengapa ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan adalah “Iqra”, bukan “Qulhu” (surah al-Ikhlas). Ilmu Pengetahuan adalah nur, cahaya yang menerangi jalan hidup manusia. Tanpa cahaya orang bisa sesat. Ilmu pengetahuan dan keadilan adalah sumber peradaban.
Semakin baik kualitas pengetahuan/pendidikan masyarakat, semakin baiklah keadaan bangsa dan negara. Dan semakin buruk mutu pengetahuan/pendidikan masyarakat, semakin buruk keadaan bangsa dan negara.
Lalu seorang kiai pengasuh pesantren tradisional di Cirebon, saat ditanya apa tujuan pesantren, beliau menjawab singkat: “agar para santri menjadi orang benar, jujur”.
Visi Kejujuran
Jawaban ini juga sederhana. Ia ingin menekankan visi kejujuran dan bertindak benar. Atau dalam bahasa lain berakhlak mulia. Menurutnya meskipun sedikit ilmu dan berakhlak tapi diamalkan itu lebih utama daripada banyak ilmu tapi tidak diamalkan, apalagi dilanggar. Ketika Imam Malik bin Anas hendak pergi belajar/mengaji kepada Imam Rabi’ah al Ra’yi, ibunya berpesan: “Belajarlah etika (akhlak) atau adab, sebelum ilmu”
Ini mengingatkan saya pada pengertian awal kata “Fiqh”, atau “Tafaqquh fi al-Din”, belajar pengetahuan agama, sebagaimana dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” :
الفقه معرفة النفس ما لها وما عليها
Artinya: “Fiqh adalah mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi jiwa”.
Atau mengetahui apa yang bermanfaat bagi jiwa dan apa yang merugikannya. Ada juga yang menerjemahkan : mengetahui hak dan kewajiban.
Pandangan di atas sejalan dengan pandangan filosof besar, Abu Bakar al Razi, atau Razes:
“Untuk apa kita diciptakan dan ke mana kita diarahkan, bukanlah pemenuhan hasrat-hasrat fisik/tubuh, melainkan pencapaian pengetahuan dan menegakkan keadilan. Dengan keduanya kehidupan menjadi berkembang, damai dan tak ada kekerasan”. []