Mubadalah.id – Penulis Buku Fikih Energi Terbarukan, Marzuki Wahid menjelaskan bahwa negara sebaiknya hadir sebagai payung Allah di muka bumi untuk melindungi kelompok yang lemah. Negara seharusnya menjadi pelindung bagi seluruh warga negara.
Pemerintah harus mengambil posisi terdepan sebagai pelayan dan pelindung seluruh warganya, sebagaimana dituliskan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Najjar dari Abu Hurairah:
“Penguasa adalah payung Allah di muka bumi yang menjadi tempat perlindungan orang yang lemah.”
Begitu juga, lanjut kata Kang Marzuki tujuan program Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) akan dapat tercapai dengan baik saat program tersebut dibarengi dengan monitoring dan asistensi perbaikan secara konsisten.
Dimana hal ini hanya bisa dilakukan dengan baik oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi dan kualifikasi khusus (akademisi atau teknisi) pada bidangnya. Negara tidak boleh mengelak dari tanggungjawab untuk merealisasikannya.
Abu Umar dalam kitab at-Tamhid Lima Fi al-Muwatha Min al-Ma’ani wal al-Asanid berkata : “wajib bagi penguasa untuk memberikan nasehat kepada rakyatnya sebagaimana wajib juga bagi mereka memberikan masukan kepadanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin. Imam (penguasa) yang menguasi rakyat adalah pemimpin mereka dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.”
Tanggung jawab operasional, perawatan, monitoring dan asistensi perbaikan PLTS dengan demikian, maka kata Kang Marzuki, seluruhnya menjadi kewajiban negara sebagai bentuk pertanggungjawaban dan perhatian terhadap rakyatnya, yaitu terwujudnya kemaslahatan bagi mereka.
Ibnu Aqil berkata: “Politik (kebijakan publik) adalah satu perbuatan yang mendekatkan manusia pada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kemafsadatan sekalipun hal itu tak pernah dilakukan Nabi SAW (dalam hadits) dan tak ada wahyu al-Qur’an yang turun (mengaturnya).”
Mengacu pada pernyataan di atas, maka, menurut Kang Marzuki, jelaslah bahwa seluruh kebijakan pemerintah harus didasarkan pada kemaslahatan rakyatnya.
Para ulama membagi kemaslahatan pada dua bagian. Pertama, kemaslahatan individual (mashlahah syakhshiyah), yaitu kemaslahatan yang hanya dinikmati oleh diri seseorang, seperti manfaat puasa senin kamis yang hanya bisa dinikmati oleh diri orang yang berpuasa.
Kedua, kemaslahatan publik (mashlahah ‘Ammah), yaitu kemaslahatan yang diterima dan dirasakan oleh sebanyak-banyaknya orang.
Pelaksanaan kemaslahatan publik bisa dilakukan oleh individu-individu yang mampu. Misalnya, satu orang mampu menanggung seluruh biaya pembuatan jembatan dan pembelian PLTS lengkap dengan ketersediaan lahannya.
Bisa juga pemenuhan kemaslahatan publik itu ditanggung oleh negara atau pemerintah. Jika kemampuan individu dan masyarakat memiliki daya jangkau terbatas dalam pemenuhan kemaslahatan publik, maka kemampuan negara tentu memiliki daya jangkau lebih luas.
Jika demikian, maka campur tangan negara dalam merealisasikan kemaslahatan publik tak terelakkan.
Oleh karena itu, negara dengan seluruh instrumen kekuasaan yang dimilikinya harus mampu menyelesaikan nasib keberlangsungan PLTS agar kemaslahatan umum dapat terealisasi dengan optimal. (Rul)