Mubadalah.id – Menurut Scanzoni dan Ccanzoni yang dikutip Evelyn Suleeman dalam buku Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, pola dalam perkawinan ada empat yaitu : owner property, head complement, senior-junior partner dan equal partner. tiga pola perkawinan pertama mendudukkan suami sebagai pemimpin atau yang diutamakan atas istri, sedangkan pola perkawinan ke empat yaitu equal partner mendudukkan suami dan istri setara.
Definisi Perkawinan Equal Partner
Pola perkawinan equal partner yaitu pola perkawinan di mana posisi suami dan istri adalah setara, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Istri mendapatkan hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan dirinya sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Maka istri dapat menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, dalam hal ini berarti penghasilan istri bisa lebih tinggi dari pada penghasilan suami.
Alasan istri bekerja dalam pola perkawinan adalah agar istri tidak sepenuhnya bergantung kepada suami atau agar istri dapat mandiri secara penuh. Norma dalam perkawinan ini adalah baik istri maupun suami sama sama memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya baik dalam pekerjaan atau secara ekspresif.
Semua keputusan yang disepakati bersama berdasarkan saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasan kedua belah pihak. Istri mendapat pengakuan dari orang lain disebabkan oleh kemampuan dirinya bukan karena suaminya. Dalam pola perkawinan ini potensi dan kemampuan individu sangat diperhatikan.
Dilihat dari definisi perkawinan equal partner ini maka dapat disimpulkan bahwa pola ini menerapkan prinsip kesalingan antara suami dan istri termasuk dalam hal siapa yang menjadi pemimpin rumah tangga. Dalam ajaran Islam banyak yang memahami bahwa laki-laki (suami) merupakan pemimpin keluarga.
Perkawinan Equal Partner dalam Pandangan Islam
Namun dalam pola perkawinan equal partner ini, pemimpin keluarga adalah kolektif kolegial antara suami dan istri. Lalu apakah pola perkawinan equal partner ini ada pada masyarakat muslim dan bagaimana korelasinya dengan surat an-Nisa ayat 34.
Hasil penelitian Disertasi penulis tentang relasi rumah tangga feminis muslim, menemukan bahwa ada rumah tangga feminis muslim yang menerapkan pola perkawinan equal partner dengan menerapkan prinsip kesalingan dalam semua aspek kehidupan rumah tangga, mulai pemimpin keluarga yang dipegang bersama antara suami, dan istri dengan model kepemimpinan kolektif kolegial, pekerjaan domestik dilakukan bersama antara suami dan istri, mencari nafkah dilakukan bersama atau salah satunya dalam arti suami bisa menjadi pencari nafkah utama atau dalam kondisi tertentu istri juga bisa menjadi pencari nafkah utama.
Keluarga feminis yang menerapkan pola perkawinan ini tidak mengenyampingkan surat an-Nisa ayat 34. Feminis muslim yang menganut pola perkawinan equal partner ini memahami penafsiran surat an-Nisa ayat 34 berdasarkan penafsiran Ulama-ulama modern yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender, di antaranya Muhammad Abduh, Fazlurrahman, Amina Wadud Muhsin, Husein Muhammad, dan Faqihuddin Abdul Qadir. Berikut adalah arti dari surat an-Nisa ayat 34:
Kaum laki-laki itu adalah qawwam bagi kaum wanita, oleh karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka).
Muhammad Abduh, seorang mufassir modern yang terkenal dengan karya tafsirnya yaitu al-Manar, tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan. Dengan alasan karena ayat ini menggunakan kata qawwān atau yang lebih tegas menunjuk laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan, akan tetapi ayat tersebut mengatakan : “oleh karena Allah telah memberikan kelebihan di antara mereka di atas sebagian yang lain,” artinya Tidak mutlak dan tidak selamanya laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan.
Fazlur Rahman, seorang sarjana asal Pakistan yang banyak mengkaji terhadap metodologi tafsir klasik, menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah pada perbedaan hakiki akan tetapi pada perbedaan fungsional.
Apabila seorang istri dapat berdiri sendiri dalam bidang ekonomi baik karena warisan ataupun karena kemampuannya, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan dan keperluan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang, karena sebagai seorang manusia dia tidak memiliki keunggulan atas istrinya. (bersambung).