Mubadalah.id – Gotfridus Goris Seran (2013), dalam bukunya yang berjudul: “Kamus Pemilu Populer – Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain“, menjelaskan bahwa presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus didapatkan oleh partai politik dalam gelaran Pemilihan Umum (pemilu) untuk dapat mengajukan calon presiden. Artinya, presidential threshold menjadi syarat bagi seseorang untuk mencalonkan diri menjadi presiden atau wakil presiden dalam pemilu.
Menjelang gelaran pemilu yang sejatinya akan dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang, ambang batas terkait pencalonan presiden kembali mencuat dan menjadi perbincangan publik. Perdebatannya pun seringkali muncul di media bahkan seolah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat.
Para pakar, pengamat politik, hingga politisi kembali menjadi tayangan utama media, mulai dari siaran TV nasional hingga media online. Masing-masing mengemukakan argumentasinya terkait angka yang relevan untuk kemudian diterapkan sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden mendatang.
Pihak pendukung ambang batas pencalonan 0% beberapa kali telah mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Dilansir dari republika.co.id (19-02-2022), ketentuan yang digugat ialah Pasal 222 UU 7/2017 yang menyatakan: “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2O% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen)dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”.
Akan tetapi, MK beberapa kali menolak permohonan tersebut. Dilansir dari sindonews.com (24-02-2022), alasan MK menolak judicial review tersebut ialah dikarenakan ambang batas pencalonan presiden merupakan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembentuk undang-undang. Artinya, yang dapat mengajukan ambang batas 0% hanyalah DPR atau Presiden. Menurut MK, pasal terkait ambang batas pencalonan merupakan open legal policy yang dapat diubah kapan saja oleh DPR.
Sebenarnya, ambang batas pencalonan 0% ini berdasar terhadap rujukan dari penerapan di negara lain. Misalnya di Amerika Serikat (AS) dan Prancis, tidak berlaku ambang batas pencalonan presiden seperti di Indonesia. Bahkan terdapat pencalonan presiden melalui jalur independen (non-partai) seperti di AS.
Pertanyaannya ialah, apakah ambang batas pencalonan 0% relevan diterapkan di Indonesia? Lalu apakah hal tersebut dapat menjadikan pemerintahan Indonesia lebih efektif serta dapat memperkuat sistem presidensial di republik ini? Atau justru malah merusaknya?
Perbandingan Penerapan Sistem Presidensial dan Format Pemilu AS, Prancis, dan Indonesia
Penerapan sistem presidensial dan format pemilu di Indonesia berbeda dengan di Amerika Serikat (AS). Dilansir dari buku “Desain Sistem Pemilu – Buku Panduan Baru International IDEA” terbitan IDEA Institut (2016), meskipun sistem pemerintahan AS menggunakan presidensial murni, akan tetapi presidennya dipilih tidak secara langsung, yaitu oleh perwakilan (electoral college) yang ditentukan dengan sistem First Past the Post (FPTP) yang merupakan peraih suara terbanyak yang ditetapkan menjadi pemenang.
Selain itu, menurut Didik Supriyanto (2007), dalam bukunya yang berjudul: “Demokrasi dan Pemilu”, pemilu legislatif di AS menggunakan sistem FPTP yang memunculkan kemungkinan penyederhanaan sistem partai menjadi sistem dua partai yang dominan. Sistem dua partai FPTP seperti di AS dianggap lebih relevan untuk menciptakan pemerintahan efektif.
Beda halnya dengan Indonesia yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial tetapi memakai sistem multipartai dan sistem pemilu proporsional-representatif. Hasil pemilu dalam sistem seperti ini memungkinkan tidak adanya Partai Politik (parpol) yang menjadi mayoritas tunggal, sehingga, partai pemenang dalam pemilu harus membentuk koalisi apabila hendak mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Koalisi tersebut tidak lain untuk memenuhi syarat ambang batas 20% jumlah kursi DPR. Selain itu, supaya mendapatkan dukungan mayoritas di DPR jika pasangan calon (paslon) tersebut berhasil memenangkan pemilu.
Begitu juga dengan Prancis. Menurut Didik Supriyanto (2007), Prancis menganut sistem pemerintahan yang berbeda dengan Indonesia, yaitu semi-presidensial. Sistem ini menjadikan pemilihan Presiden secara langsung oleh rakyat dengan metode popular vote. Akan tetapi, Prancis juga mempunyai Perdana Menteri yang bertanggung jawab terhadap presiden. Perdana Menteri tersebut dipilih oleh parlemen.
Sistem yang digunakan Prancis ini memunculkan kemungkinan adanya check and balancing di antara lembaga pemerintahan untuk lebih efektif. Presiden mempunyai legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat secara lansung, bahkan kepentingan mayoritas di parlemen menjadi terwakilkan dengan adanya Perdana Menteri tersebut.
Format pemilu di Prancis juga menggunakan sistem yang memungkinkan penguatan presidensial. Pemilihan Presiden dilakukan sekitar satu bulan sebelum pemilu legislatif. Presiden terpilih sangat berpengaruh terhadap pemilihan anggota parlemen, sehingga pemerintahan yang akan berjalan mempunyai dukungan dari mayoritas parlemen.
Kondisi tersebut juga diperkuat oleh format pemilu di Prancis yang menganut Two Round System, yang memberi peluang terhadap kandidat dari partai pengusung presiden terpilih untuk memperoleh banyak dukungan dari pemilih.
Kondisi tersebut berbeda dengan sistem dan format pemilu di Indonesia, yaitu sistem proporsional-representatif. Dukungan terhadap calon legislatif cenderung lebih stabil untuk berbagai parpol karena pola kandidat sentris. Hal itu juga membuat tidak adanya mayoritas tunggal dalam hasil pemilu di Indonesia.
Presidential Threshold 20% Termasuk Maqashid al -‘Ammah
Saiful Ansori (2020) dalam tulisannya yang berjudul: “Maqashid Syariah dan Praktik Sistem Presidential Threshold di Indonesia”, mengutip pemikiran Jasser Auda (seorang professor hukum Islam yang berfokus terhadap kajian Maqashid Syariah), menjelaskan bahwa maqashid al -‘ammah, merupakan maqashid yang bersifat universal yang mencakup seluruh masalah yang terdapat dalam perilaku tashri’, seperti keadilan, kesalingan, persamaan, toleransi, kemudahan dan lain sebagianya.
Sistem presidential threshold 20% dalam pemilu di Indonesia termasuk ke dalam kategori maqashid al -‘ammah. Hal ini dapat dilihat dari kemaslahatan yang ditimbulkannya termasuk ke dalam kategori maqashid al-‘ammah. Di antaranya:
Pertama, presidential threshold 20% secara tidak langsung mengarahkan para parpol untuk berkoalisi dengan partai lain, sehingga sila keempat Pancasila terkait musyawarah mufakat dan juga prinsip mu’syarah bil ma’ruf lebih tercermin dengan tidak membiarkan setiap partai politik mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, presidential threshold 20% juga akan mengatasi masalah multi partai pasca gelaran pemilu. Parpol akan membentuk dua poros (pengusung dan oposisi), sehingga masih memungkinkan terjadinya check and balancing sebagai upaya efektivitas berjalannya sistem pemerintahan.
Ketiga, presidential threshold 20% juga memberikan peluang terhadap setiap parpol untuk dapat mengusung calonnya menjadi Presiden atau Wakil Presiden dengan melalui musyawarah atau koalisi dengan parpol lain. Artinya, seseorang yang dengan latar belakang partai minoritas masih memiliki peluang untuk menjadi Presiden. Atau dengan kata lain, tidak hanya partai yang berkuasa yang dapat mencalonkan anggotanya menjadi Presiden.
Maka apabila ambang batas 0% ini diberlakukan, akan berpotensi terhadap hilangnya maqashid al-‘ammah. Sebagai contoh, jika ambang batas 0% ini berlaku, maka ada jika terdapat 12 parpol, maka akan memunculkan 12 pasangan calon yang diusungkan. Hal ini mempersulit pemilih karena terlalu banyak calon yang muncul dalam pemilu.
Ambang Batas Pencalonan 0% dan Sistem Presidensial Inefesien
Di satu sisi, ambang batas pencalonan 0% memang berdampak positif bagi demokrasi. Sistem tersebut memberi kesempatan terhadap warga negara yang potensial untuk bisa ikut andil berkompetisi menjadi calon Presiden atau Wakil Presiden di Indonesia.
Akan tetapi, apabila ambang batas pencalonan 0% diterapkan dalam sistem pemilu yang tidak tepat, maka dapat menimbulkan pemerintahan yang inefesien. Hal itu dikarenakan dapat menjadi penyebab pemerintahan terpecah belah, bahkan bisa menjurus ke instabilitas politik di Indonesia.
Selain itu, menurut Philipus Ngorang, seorang Pengamat Politik, pemberlakuan ambang batas pencalonan 0% juga berpotensi memperparah terjadinya politik uang (money politic), seperti dilansir populis.id (15-02-2022), mengingat siapa pun jadi bisa mencalonkan diri sebagai presiden hanya dengan modal banyak uang.
Ambang batas pencalonan presiden 0% lebih relevan jika diterapkan dalam sistem pemilu mayoritarian, khususnya di negara yang menganut sistem first past the post dan two round system. Sistem ini telah berhasil menciptakan mayoritas tunggal di parlemen setidaknya pada dua negara demokrasi seperti di AS dan Prancis dengan sistem pemerintahan presidensial yang cukup efektif.
Sebaliknya, presidential threshold 20% seperti di Indonesia memungkinkan terciptanya sistem presidensial yang efektif. Dengan terkondisikan parpol untuk dapat berkoalisi pada pra-pemilu, sistem presidensial Indonesia menjadi terjaga agar bisa mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Pemilu.
Selain itu, presidential threshold 20% juga bertujuan supaya pembentukan koalisi mayoritas pendukung Presiden di DPR dapat terbentuk sebagai antisipasi terjadinya pemerintahan yang terbelah.
Apabila dipaksakan pada sistem multi partai dan sistem pemilu proporsional-representatif seperti di Indonesia, ambang batas pencalonan 0% pada pencalonan Presiden dapat menjadi penyebab praktik ‘politik belah bambu’ bagi parpol yang menjadi oposisi pasca pelaksanaan pemilu apabila Presiden dan Wakil Presiden terpilih berasal dari parpol minoritas. []