Mubadalah.id – Dalam konteks Islam, kesetaraan manusia telah diungkapkan dalam banyak sekali teks-teks suci baik al-Qur’an maupun Hadits Nabi. Beberapa di antaranya:
“Wahai manusia Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal, Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada-Nya” (QS. al-Hujurat, (49):13).
“Orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, laki-laki dan perempuan saling membantu dalam kerja-kerja mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. (QS. al-Taubah, (9):71) yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Pembaca ayat ini secara lebih cermat dan kritis akan menemukan bahwa redaksi ini mengisyaratkan nuansa-nuansa kontekstualitasnya:
Pertama, ayat ini sedang mendiskripsikan sebuah situasi sosial-budaya Arabia abad 7 yang patriarkhis, bahwa laki-laki adalah entitas superior, sementara perempuan adalah entitas inferior. Jadi ia bukanlah ayat yang mengandung norma universal.
Kedua, ayat ini kemudian menyebutkan dua alasan mengapa relasi laki-laki dan perempuan seperti itu. Pertama, karena laki-laki memiliki keunggulan atas perempuan, dan kedua, karena laki-laki secara fungsional bertanggungjawab atas kebutuhan perempuan (dan keluarganya).
Mengenai alasan yang pertama ayat ini tidak secara eksplisit menyebutkan faktor keunggulan tersebut. Para ahli tafsirlah yang kemudian menyebutkan bahwa keunggulan tersebut, antara lain dan terutama kecerdasan intelektual dan kesetaraan.
Tidak Mutlak
Ketiga, segera harus dikemukakan bahwa dalam waktu yang sama ayat ini mengemukakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan, tidaklah absolute/ mutlak. Ia menyebutkan dengan jelas “ba dhahum ‘ala ba’dh” (sebagian atas sebagian), atau keduanya adalah setara.
Pernyataan ini sangat realistis dan masuk akal. Fakta-fakta sejarah umat manusia di berbagai benua dan di berbagai komunitas sampai hari ini memperlihatkan betapa relatifnya potensi akal intelektual antara laki-laki dan perempuan.
Aisyah, istri Nabi, misalnya, pada zamannya banyak orang yang mengakui sebagai perempuan dengan tingkat kecerdasan yang mengungguli kebanyakan laki-laki. Dan Siti Khadijah adalah perempuan pengusaha profesional yang sukses.
Maka faktor kecerdasan intelektual dan keahlian produksi bukanlah sesuatu yang melekat pada setiap laki laki, bukan kodrat, dan tidak universal, melainkan terkait dengan situasi dan sistem sosial, budaya, politik dan sebagainya. Dengan begitu ia adalah teks partikular dan berlaku kontekstual. Ia bisa berubah-ubah. []