Mubadalah.id – Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof. Euis Nurlaelawati menilai Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah memberikan kontribusi penting dalam produksi pengetahuan keislaman. Terutama melalui berbagai kajian dan karya ilmiah tentang kepemimpinan dan keulamaan perempuan.
Namun, ia mengingatkan agar kajian-kajian tersebut tidak berhenti pada glorifikasi capaian. Melainkan juga menghadirkan analisis akademik yang lebih kritis dan berbasis data.
Hal tersebut disampaikan Prof. Euis dalam Dialog Publik di Halaqah Kubra KUPI, forum yang membahas perkembangan dan tantangan gerakan keulamaan perempuan di Indonesia.
Menurutnya, banyak mahasiswa dan peneliti telah menulis disertasi serta karya ilmiah tentang KUPI, yang menunjukkan pengakuan akademik terhadap gerakan tersebut.
“Kita memang sudah menghasilkan banyak capaian penting, tetapi kajian akademik perlu melangkah lebih jauh. Jangan hanya menegaskan keberhasilan, tetapi juga berani melakukan evaluasi kritis,” ujar Prof. Euis.
Ia mencontohkan respons terhadap fatwa perempuan yang dikeluarkan KUPI, yang menurutnya tidak hanya mendapat tantangan dari kelompok di luar. Tetapi juga dari kalangan ulama sendiri. Kondisi ini, kata dia, menunjukkan adanya keragaman pemahaman dan otoritas keagamaan di Indonesia yang perlu diakui dan dikaji secara serius.
Kontribusi Keilmuan KUPI
Prof. Euis menegaskan bahwa kajian tentang KUPI semestinya juga menyoroti kontribusi gerakan ini terhadap pembaruan hukum Islam, pemikiran keagamaan, serta upaya memperluas keadilan bagi perempuan. Selain itu, ia mendorong keterbukaan terhadap kritik dan resistensi sebagai bagian dari dinamika keilmuan.
Ia juga menyoroti bahwa perdebatan mengenai ulama perempuan masih berlangsung di tingkat masyarakat. Menurutnya, masih ada pertanyaan mendasar tentang siapa yang bisa kita sebut ulama perempuan. Apakah semata-mata berdasarkan jenis kelamin atau pada kapasitas keilmuan dan otoritas pemikiran yang ia miliki?
Dalam konteks relasi gender, Prof. Euis mengungkapkan temuan penelitian mahasiswa bimbingannya yang menunjukkan adanya ketimpangan pemahaman antara perempuan dan laki-laki. Banyak perempuan telah memiliki pemahaman kuat tentang kesetaraan gender, sementara laki-laki kerap tertinggal dalam pemahaman tersebut.
“Dalam beberapa kasus, perceraian terjadi bukan karena perempuan ingin berpisah. Tetapi karena mereka tidak lagi mampu bertahan dalam relasi yang tidak adil,” ujarnya.
Karena itu, Prof. Euis menekankan bahwa pendidikan kesetaraan gender tidak boleh hanya menyasar perempuan. Laki-laki, baik generasi muda maupun dewasa, perlu kita libatkan secara serius agar tercipta relasi yang adil dan setara dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Sebagai penutup, ia menegaskan pentingnya pengembangan kajian keulamaan perempuan yang kritis, terbuka, dan berkelanjutan agar gerakan ini dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi pembaruan pemikiran keislaman di Indonesia. []









































