Mubadalah.id – Perkawinan adalah menyatunya dua perbedaan abadi: laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang tak hanya biologis. Melainkan juga psikis dan emosional ini sudah pasti membutuhkan kemampuan adaptasi dari keduanya, suami dan istri.
Adaptasi yang perlu terus dilakukan, dipelajari, dan ditingkatkan seiring dengan terus berkembangnya usia dan pengalaman suami-istri sebagai individu yang tidak statis.
Adaptasi abadi tak bisa kita elakkan karena relasi suami istri terus berubah. Mulai dari relasi marital yang hanya melibatkan suami istri, lalu relasi parental yang mendudukkan keduanya sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Sampai relasi marital jilid kedua ketika anak-anak sudah membina keluarga mereka masing-masing.
Problem di setiap fase ini tentu berbeda. Demikian pula problem yang akibat relasi suami atau istri dengan pihak di luar mereka, seperti teman seprofesi, teman seperjuangan, atau klub-klub sosial yang suami atau istri ikuti saja.
Kegagalan Perkawinan
Gagalnya perkawinan seringkali akibat kegagalan adaptasi suami istri ini. Salah satu pihak tidak siap dengan perubahan yang terjadi pada pasangannya. Istri yang menempati posisi sosial dan karir yang tinggi, misalnya, sering membuat suami tak mampu beradaptasi.
Posisi suami sebagai kepala keluarga sering orang-orang pahami sebagai privilege yang mengharuskan istri terus mengikuti apa yang suami inginkan, tanpa memahami realitas istrinya yang juga terikat dengan akad dan tanggungjawab lain di luar rumah tangga.
Sebaliknya suami yang terus berkembang wawasan, pergaulan dan posisi sosialnya membuat istri tertinggal jauh sehingga tak mampu beradaptasi. Semua keadaan yang tidak berimbang akan lebih menyulitkan adaptasi. Keadaan ini bisa mengakibatkan disharmoni atau ketertekanan yang tak jarang berujung pada perceraian.
Untuk memudahkan adaptasi, “kafa’ah” (kesetaraan dan kesepadanan) suami-istri sangat penting keduanya upayakan sebelum maupun selama perkawinan; kafa’ah dalam pemahaman agama dan hakikat perkawinan, serta kafa’ah tingkat pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi.
Nabi bersabda, “Perempuan dipilih karena harta, kedudukan sosial, kecantikan dan agamanya. Pilihlah yang bagus agamanya maka engkau akan berbahagia.” (HR. Bukhari-Muslim dan seluruh imam hadis yang tujuh).
Dalam konteks kafa’ah, sabda ini bisa kita maknai: dalam memilih jodoh, perhatikanlah empat hal tersebut, khususnya yang terakhir (agama), dan carilah yang lebih sepadan denganmu dalam keempat hal itu.
Oleh sebab itu, teruslah berupaya agar kesepadanan itu terwujud dan terjaga sepanjang hayat. Insya Allah kesepadanan ini akan lebih menjaga kelestarian pernikahanmu karena kamu lebih mudah beradaptasi. []